Baraya Post, 19 Agustus 2015
Budaya anak muda adalah budaya perlawanan. Dengan entitas
pencarian jati dirinya, mereka berusaha untuk menghadirkan ke-diri-annya
melalui bentuk-bentuk komunal, karena hanya dengan cara itulah mereka bisa
saling memahami satu sama lain atau di dalam ilmu youth culture dikenal dengan peta makna. Peta makna tersebut tidak hanya hadir pada pikiran mereka
tetapi diekspresikan melalui tindakan hubungan sosial.
Pada kondisi inilah
kemudian kebudayaan anak muda terjadi sebagai reaksi dari interaksi sosial
mereka. Kebutuhan ekspresif yang dimengerti oleh anggotanya membuat terjalinnya
konstitusi komunal di antara mereka dan membentuk sebuah tatanan kelompok/
institusi yang terbedakan dengan instutusi masyarakat pada umumnya.
Di dalam
proses seperti itu pula, mereka mencoba untuk menemukan nilai-nilai identitas
kolektif sehingga mereka bisa dengan mudah untuk menjadi anggota geng tertentu,
terlibat dalam huru-hara atau menjadi cross
boy dan “nongkrong” seharian penuh dan menggoda orang-orang yang
lalu-lalang.
Pada fase inilah anak muda juga dibaiat sebagai
komunal yang “berbahaya” dan patut untuk ditundukkan. Setidaknya predikat itu
muncul dari kalangan budaya dominan yang menganggap sikap hidup mereka sebagai kategori
yang menyimpang. Padahal, apa yang mereka lakukan adalah upaya agar mereka bisa
dimengerti oleh khalayak.
Persoalanya, dengan cara mereka itu, tidak semua
kalangan budaya dominan memahaminya, sehingga jarak antara budaya anak muda yang
–sub; makin terlepas dari budaya induknya. Setidaknya begitulah saya memulai
tulisan ini sebagai respons dari munculnya protes dari
pihak-pihak tertentu mengenai keikutsertaan Marching Band Gita Surosowan pada ajang DCI World Championship di Amerika
Serikat beberapa waktu lalu. Mereka beranggapan bahwa
keikutsertaan Gita Surosowan hanya menghambur-hamburkan dana APBD. “Dengan 6
milyar, feed back untuk Banten apa?” Begitulah pertanyaan yang dilontarkan oleh
para pengamat di beberapa media. Selain itu ada juga yang dengan begitu sumir mengatakan
bahwa Gita Surosowan hanya bentuk pencitraan karena tidak memiliki prestasi
apa-apa.
Saya tidak hendak terjebak pada persoalan klasik
mengenai alokasi pendanaan yang selalu menjadi perdebatan yang tiada akhir.Sebagai
akademisi dan peneliti mengenai kebudayaan anak muda, saya cukup prihatin
dengan lontaran-lontaran tersebut, karena jelas sekali bahwa mindset dari pertanyaan tersebut salah
kaprah. Mengapa harus selalu bicara untung-rugi ketika berbicara regenerasi? Kenapa
juara 1, 2 atau 3 menjadi sebuah parameter keberhasilan? Apakah harus selalu
berujung pada tolak ukur kuantitatif untuk melihat sebuah hasil? Sementara,
objek yang sedang kita bicarakan adalah 148 anak muda yang rata-rata masih
duduk di bangu SMP dan SMA, dengan segala problematikanya. Tak bisakah sejenak
kita memakai kacamata anak muda untuk melihat anak muda?
148 anak muda itu bisa saja terlibat tawuran, menjadi
pengedar obat bius atau menjadi pemerkosa. Tetapi dengan uang 6 milyar, 148 anak
muda itu bisa menjadi pemantik bagi ribuan anak muda lainnya untuk berprestasi,
bahkan menjadi inspirasi . Efek domino inilah yang harusnya ditangkap oleh para
pengamat itu, bukan hanya menggunjingkan dan menyeret mereka yang tidak tahu
menahu mengenai politik anggaran. Justru, keberanian Pemda Banten dengan “mengalokasikan”
dana untuk anak muda berkiprah di ajang internasional harus kita anggap sebagai
keseriusan mereka dalam mengupayakan regenerasi anak muda Banten di masa
mendatang.
Sebagai warga Banten, saya juga termasuk orang yang
jengah dengan persoalan-persoalan sosial yang belum bisa dituntaskan dengan
baik; warga miskin yang sulit mengakses kesehatan, jalan raya rusak, sekolah ambruk
dan seterusnya. Tetapi rasanya tidak adil jika kita terus mengutuk kondisi yang
ada tetapi “menelantarkan” persoalan lain yang juga tak kalah penting.
Persoalan regenerasi (anak muda) justru bagian dari subsistem yang sangat krusial
di Banten ini. Pertanyaannya, berapa banyak anggaran yang dikeluarkan Pemda
untuk menopang kegiatan mereka? Sudahkah Pemda memperhatikan fasilitas publik bagi
anak-anak muda untuk berekspresi? Diskursus mengenai Gita Surosowan bagi saya
adalah fondasi awal dari semangat Pemda Banten untuk pro pada geliat anak muda
di Banten. Selain marching band, masih
banyak anak-anak muda yang terlibat di bidang film, sastra, sains, organisasi
dan lain-lain yang perlu juga untuk diperhatikan, Di dalam tulisan ini, saya
justru menuntut kepada Pemda Banten agar lebih banyak lagi mengeluarkan porsi
anggaran yang ideal sehingga anak-anak muda terfasilitasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar