Kewajiban
membaca bagi para siswa selama 15 menit yang diatur melalui Permendikbud no 23
tahun 2015 mengenai Program Penumbuhan Budi Pekerti patutlah diapresiasi.
Kewajiban seperti ini setidaknya menjadi arena bagi institusi sekolah untuk
menyediakan buku-buku yang representatif, selain buku pelajaran; karena selama
ini kita tahu betul bahwa perpustakaan di sekolah umumnya hanya menyediakan
buku-buku pelajaran yang kering dan
instruktif.
Salah satu alasan
dalam mewajibkan membaca bagi siswa di Indonesia tertuang pada laporan Programme for International Student
Assessment (PISA) tahun 2012
mengenai kemampuan matematika, membaca dan sains siswa berumur 15 tahun di
banyak negara di dunia. Berdasarkan laporan tersebut, dari 65 negara, Indonesia
berada di level 64. Jadi, tidak salah jika Taufiq Ismail pernah mewartakan
“tragedi 0 buku” berdasarkan hasil laporannya setelah membandingkan keterbacaan
siswa Indonesia dengan negara lain. Seperti yang dijelaskan di dalam laporan
PISA, siswa di Indonesia memang tidak pernah dituntut untuk membaca sehingga
kegamangan dalam menganalisasi sesuatu yang sifatnya problematik, sangat
terlihat. Siswa di Indonesia lebih terpaku pada proses pembelajaran hafalan,
bukan menghayati keterbacaan.
Jadi, jika
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mewajibkan membaca bagi para siswa di
jenjang pendidikan formal, saya sangat mahfum. Dengan cara semacam itu, setidaknya, akan memberikan kegairahan baru,
terutama di sekolah formal, dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
Namun, ada pertanyaan lain yang juga penting untuk dijawab. Kenapa hanya
pendidikan formal saja yang dibidik? Apakah karena pendidikan formal lebih
mudah untuk diberikan instruksi? Padahal pendidikan non formal tak kalah penting
untuk diperhatikan dan Kemendikbud juga memiliki kewajiban untuk memperhatikan
mereka. Kemendikbud tidak boleh hanya mengarahkan titik tekan
budaya literasi hanya pada pendidikan formal.
Menggagas
Indonesia Membaca
Jika
melihat sejarah, geliat literasi justru dimulai dari masyarakat. Istilah Taman
Bacaan mulai dipakai pada abad ke-19 dengan munculnya masyarakat Tionghoa
peranakan yang haus bacaan. Pada tahun 1970-an, atas kerja sama antara
Depdikbud-Unicef mengenai Fasilitas Pemeliharaan Keberaksaraan, dibentuklah
Taman Bacaan Kampung. Pada tahun 1992, berganti nama menjadi Taman Bacaan
masyarakat dan berkembang cepat di berbagai daerah.
Stian
Haklev, seorang peneliti dari Kanada menjelaskan bahwa revitalisasi Taman
Bacaan di Indonesia kian menunjukkan
eksistensinya setelah era reformasi di mana para pengelolanya adalah masyarakat
umum dengan berbagai latar belakang. Kini, Taman Bacaan tidak hanya menyediakan
bahan bacaan saja, tetapi sudah berubah menjadi learning center, sebuah tempat berinteraksi masyarakat dalam
mengakses ilmu pengetahuan. Selain itu, ada berbagai karakteristik yang berbeda
satu sama lain. Independensi dari setiap TBM terjadi atas respons dari
masyarakat sekeliling, sehingga munullah TBM berbasis kepenulisan, TBM berbasis
masjid, TBM berbasis martim, TBM berbasis agraris dan seterusnya.
Hingga saat ini,
ada lebih dari 8000 Taman Bacaan Masyarakat di Indonesia yang dikelola oleh
masyarakat. TBM-TBM ini hadir mulai dari pelosok pedesaan, ruang-ruang publik
seperti terminal, pasar,
alun-alun bahkan Pos Yandu. Mereka memiliki
keyakinan yang sama bahwa proses literasi adalah jawaban atas kebekuan literer
di Indonesia. Dengan segala karakteristiknya, para pengelola Taman Bacaan
Masyarakat mencoba untuk menciptakan ruang baru, bahkan meneror masyarakat agar
bisa dekat dengan buku. Kita sadar betul bahwa selama ini, pendidikan formal
tidak bisa menjawab “tragedi 0 buku” itu. Salah satu indikator kenapa
masyarakat kita tidak terlalu gandrung denga budaya baca, karena masyarakat tidak
terbiasa dekat dengan bahan bacaan. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah hanya
berada di tingkat Kabupaten. Sementara Perpustakaan Desa yang sekarang ini
dicanangkan hanya menjadi aksesoris kantor kelurahan dengan buku-buku yang
kurang menggairahkan.
Saya kira, sudah
waktunya, di bawah kepemimpinan Anies Baswedan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang
berawal dan peduli komunitas, mulai berpikir untuk membuat Peraturan Menteri
mengenai Budaya Membaca yang lebih holistik dan terarah. Gerakan Indonesia
Membaca sudah dilakukan oleh komunitas literasi/ Taman Bacaan Masyarakat
semenjak zaman reformasi bergulir. Di
berbagai daerah, pada even Hari Buku se-dunia dan Hari Aksara Internasional,
muncullah gerakan literasi lokal seperti Yogja Membaca, Kendari Membaca, Banten
Membaca, Bandung Membaca dan seterusnya. Gerakan semacam ini adalah bentuk
kesadaran dari civil society untuk
memunculkan betapa pentingnya budaya membaca. Jika
saja Gerakan Indonesia Membaca diadopsi oleh negara, dan Mendikbud menjadi garda
terdepan mengenai gerakan ini,
saya yakin, budaya membaca di Indonesia akan jauh lebih berkembang sehingga kelak kita tidak dianggap lagi
sebagai negara yang tidak berbudaya baca.
*) Ketua Umum PP Forum Taman Bacaan
Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar