MENGGAGAS DEWAN KESENIAN (LAGI)
Oleh Firman Venayaksa
Banten Raya Pos (3/8/2015)
Sejak Provinsi Banten terbentuk, isu mengenai
pentingnya pendirian Dewan Kesenian Banten terus bergulir. Sebelum pemerintahan
yang dipimpin Rano Karno, Banten pernah memiliki Dewan Kesenian Banten (DKB) yang
diketuai oleh budayawan sunda yang cukup disegani yaitu Yosep Iskandar. Namun
waktu itu terjadi penolakan dari masyarakat seni di Banten yang mengatasnamakan
Forum Kesenian Banten (FKB). Mereka merasa bahwa Yosep Iskandar tidak
merepresentasikan seniman Banten. Cara Gubernur waktu itu, dengan melantik
Ketua DKB tanpa ada diskusi dengan masyarakat seniman Banten memperruncing
persoalan. Sementara, Disbudpar melakukan standar ganda, yaitu tetap mengklaim
Dewan Kesenian Banten yang diketuai Yosep Iskandar sebagai DKB yang sah, di
sisi lain, Disbudpar juga mengakomodir FKB sebagai organ komunal yang layak
diberi bantuan APBD.
Pada akhirnya, yang tersisa adalah conflict of interest dan pertikaian
horizontal antarseniman yang terus-menerus berkembang. Seiring berjalannya
waktu dan setelah DKB ditinggalkan oleh Yosep Iskandar, masyarakat seniman
Banten berusaha untuk mendirikan kembali di tengah
semangat puing-puing yang berserak. Beberapa peristiwa pendirian DKB dari
pelbagai faksi dilakukan. Namun hingga
pemerintahan Rano Karno, yang memiliki latar belakang sebagai seniman, DKB
tidak pernah terwacanakan secara formal. Padahal posisi
DKB memiliki fungsi yang cukup strategis, terutama menjadi wadah bagi para
seniman berekspresi dan menjadi organ penting dalam merumuskan kebijakan
kehidupan kesenian dan kebudayaan di Banten. Selama ini kita tidak pernah tahu
bagaimana ancangan kesenian dan kebudayaan dikemudian hari. Seolah-olah
kesenian dan kebudayaan di Banten dibiarkan hidup sendiri di tengah kepungan perkembangan
zaman.
Pentingkah DKB?
Jika
kita berkaca pada sejarah masa lalu mengenai pembentukan DKB, saya bisa
menyimpulkan dua hal. Pertama, kesalahan besar yang dilakukan pemerintah Banten
adalah membentuk DKB tanpa ada keterlibatan dari masyarakat seniman Banten. Tentu
kita memahami bahwa pendirian DKB merupakan titik tolak kehadiran pemerintah di
masyarakat. Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengayomi dan mengembangkan
potensi kesenian. Namun jika proses dialektika diabaikan dan hanya memakai
otoritas dominan sebagai cara untuk melegitimasi DKB, maka potensi konflik
tentu sangat tinggi. Kedua, saya juga mengkritik cara pandang seniman yang
berusaha membuat legitimasi dengan mengumpulkan dukungan dari
komunitas-komunitas kesenian, menginisiasi musyawarah untuk memunculkan salah
satu sosok sebagai Ketua DKB dan “memaksa” Gubernur melantik secara formal
merupakan pemahaman yang gegabah. Pada tahap ini, pemerintah membutuhkan legal standing yang jelas karena pada
akhirnya kebijakan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) memiliki konsekuensi
logis, terutama dalam hal penganggaran.
Berdasarkan dua hal di atas, maka jika DKB dianggap
penting dan perlu untuk direvitalisasi, hal terbaik adalah melakukan dialog
antara pemerintah dan masyarakat kesenian. Dengan silaturahmi pemikiran seperti
itu, pemerintah sebagai eksekutif memahami harapan dari seniman sebagai subjek dan
seniman memiliki acuan terhadap cara pandang pemerintah terkait kebijakan
kesenian dan kebudayaan. Pada tahap selanjutnya, berdasarkan masukkan
dari masyarakat kesenian, Gubernur harus berani melakukan terobosan dengan
membuat Panitia Seleksi (Pansel) Ketua DKB sehingga legal standing bisa lebih kuat dan proses pendirian DKB bisa lebih
transparan. Untuk pendirian Pansel setidaknya harus melibatkan tiga komponen
yaitu akademisi, seniman dan pihak pemerintah yang
berkepentingan (Disbudpar).
Melalui otoritas yang dikeluarkan Gubernur mereka harus melahirkan acuan teknis
yang jelas seperti kriteria yang ketat, agenda seleksi dan perangkat teknis
lainnya sehingga pada akhirnya Pansel bisa mendapatkan beberapa figur
Ketua/ pengurus DKB yang kemudian
diputuskan melalui Surat Keputusan Gubernur Banten.
Terlepas dari hal-hal teknis di atas, saya melihat
bahwa potensi kesenian di Banten cukup berkembang pesat. Hal ini terlihat dari
geliat pelbagai komunitas kesenian untuk
mempresentasikan karyanya di ruang publik. Di wilayah kesusastraan, beberapa
penulis Banten sudah sering terlibat pada perhelatan di tingkat nasional bahkan
internasional. Begitupun pada wilayah tari, teater, seni rupa, musik dan film. Potensi
ini tentu cukup membanggakan.Apa lagi kita mendengar bahwa Festival Film
Indonesia yang cukup bergengsi di tanah air itu akan dilaksanakan di Banten
pada akhir tahun ini. Namun jika tidak ada wadah untuk menampung kreativitas
kesenian di Banten, potensi semacam ini akan musnah secara perlahan dan kita
akan gamang terhadap kehidupan kesenian dan kebudayaan di masa mendatang.