Minggu, 13 September 2015

CISUNGSANG DAN STRATEGI BUDAYA



Saya tidak memiliki data yang cukup valid mengenai berapa kali kampung adat Cisungsang melakukan ritual “seren taun”. Namun setiap kali saya mengikuti perhelatan adat tersebut setiap tahunnya, saya menemukan ruang-ruang yang selalu membahagiakan walaupun harus ditempuh sekitar delapan jam perjalanan dari kota Serang.
Seperti yang terjadi pada minggu lalu (6/9/2015) ribuan orang memadati kampung itu untuk menonton sebuah ritual yang secara turun temurun terus dihayati sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan warga Cisungsang. Di malam hari, ribuan anak muda asyik mendengarkan lagu dangdut-rock hingga reggae di tengah lapangan. Udara yang dingin menggigit tak membuat mereka lantas diam. Semua bersorak mengikuti alunan musik. Di tempat yang tidak terlalu jauh, musik-musik tradisional pun ikut menggema. Bedanya, para penonton  di sini lebih banyak didominasi oleh orang tua. Modern dan tradisional saling-silang di malam yang gempita itu.
Dari sisi akademik, sulit bagi saya untuk menerima betapa mudahnya antara kebudayaan tradisi dan kebudayaan modern bergabung tanpa ada pergesekan sedikitpun di Cisungsang. Tapi begitulah yang terjadi. Maka, di malam itu, saya berusaha untuk tidak memakai cara berpikir yang sok akademis untuk bertanya-tanya dan berusaha mengemukakan latar belakang masalah. Sebagai akademisi, cara berpikir saya memang sudah terlalu sering diracuni dengan pertanyaan “apa masalahnya?” Dengan penuh kesadaran, saya coba meletakkan cara berpikir itu di tempat yang sewajarnya dan mulai memosisikan diri saya hanya sebagai manusia. Dengan begitu, saya ingin lebih terbuka menerima apa yang saya lihat dan rasakan.
Strategi Budaya
Fenomena kampung adat tentu berbeda dengan kampung lain pada umumnya. Dengan segala ciri khasnya, mereka berusaha untuk mempertahakan diri dari gempuran kebudayaan di luar dirinya, walaupun mereka juga paham, pada akhirnya, lambat laun, interaksi antarbudaya tak bisa dihindari. Infiltrasi semacam ini adalah keniscayaan. Namun, kita juga bisa belajar pada kampung adat dalam melakukan strategi kebudayaan. Di Baduy misalnya; dengan dibuatnya pembeda antara demarkasi “baduy luar” dan baduy dalam” adalah cara bagi mereka untuk membuat cultural shield sehingga gempuran kebudayaan luar tidak langsung masuk menghujam inti dari kebudayaan baduy yang sudah mereka anut selama ini.
Strategi kebudayaan yang tak kalah menarik justru saya temukan di kampung adat Cisungsang. Tak sedikit para pemerhati kebudayaan Banten yang dengan sumir mengatakan bahwa kampung adat Cisungsang sudah tak lagi murni. Hawa pop culture seperti dangdut, rock, reggae sudah menjadi bagian dari acara seren taun sehingga mereka mempertanyakan orisinalitas seren taun. Belum lagi dengan berdatangannya komunitas pop culture seperti “Brother Hood” atau komunitas Jeep yang ikut terlibat setiap tahunnya. Tentu mindset seperti ini tidak salah. Orisinalitas memang menjadi tolak ukur dari kualitas kampung adat. Namun tak ada salahnya jika kita mencoba untuk memakai kacamata lain dalam memandang Cisungsang. Kampung adat Cisungsang tentu tidak bisa disamakan dengan kampung adat Baduy. Mereka memiliki karakteristik dan way of life yang berbeda walau sama-sama berlatar belakang kesundaan yang cukup kental. Cisungsang sudah membuka diri dengan pergumulan modernitas. Rumah, kendaraan, pendidikan dan interaksi sosial sudah tidak terlalu berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Bahkan tak sedikit yang bekerja menambang emas. Hal yang paling penting dan menjadi karakter utama dari masyarakat adat Cisungsang adalah mereka masih berpegang teguh pada prinsip hidup kesundaan yang secara turun temurun mereka geluti dan acara seren taun menjadi ritual yang paling monumental dalam kehidupan mereka. Interaksi antara kebudayaan modern dengan kebudayaan tradisi yang terlihat di kampung adat Cisungsang justru menjadi bagian yang memiliki nilai tersendiri. Dengan cara seperti ini, justru ada ruang ikonik lain yang menarik, misalnya walaupun anak-anak muda itu gandrung dengan musik reggae dan dangdut, tapi mereka menari dengan ikat khas sunda di kepalanya.
Ruang seren taun pada awalnya adalah upacara penyerahan diri dan ungkapan rasa suka cita bagi masyarakat Cisungsang atas anugerah yang melimpah dari sang Maha Pencipta. Rasa suka cita itu kemudian diekspresikan ke dalam rasa syukur. Semua orang di luar masyarakat adat diundang untuk bersilaturahmi, termasuk para pemangku kepentingan. Dari sinilah strategi kebudayaan itu hadir. Abah Usep sebagai pemimpin adat menjadi artikulator masyarakatnya. Ia tak hanya mengungkapkan rasa bahagia mengenai pembangunan jalan dan infrastruktur yang sedang digarap oleh pemerintah. Sebagai artikulator, ia juga menyampaikan saran-saran bahkan kritik kepada pimpinan daerah. Bahkan, ia tak hanya menjadi artikulator masyarakat adat Cisungsang. Sebagai bagian dari warga Banten Selatan, ia juga mengungkapkan secara politis dengan ungkapan-ungkapan yang rasional dalam meminta dukungan gubernur agar Cilangkahan segera dimekarkan menjadi sebuah kabupaten yang otonom. Keinginan itu ternyata langsung diamini oleh Rano Karno. Sebagai gubernur yang memiliki latar belakang sebagai budayawan, ia tak hanya mendukung penuh gagasan masyarakat adat Cisungsang untuk lepas dari kabupaten Lebak, tetapi menjadi salah satu komitmen RK untuk lebih mementingkan pembangunan di Banten Selatan. “Masyarakat Banten Selatan ini sudah lama perih hidupnya, pada akhir kepemimpinan saya yang tidak sampai 2 tahun, saya akan berkomitmen untuk membangun Banten Selatan," ungkap Rano yang dibalas dengan tepuk tangan dari warga Cisungsang.
Menurut saya, strategi kebudayaan yang diterapkan oleh kampung adat Cisungsang cukup berhasil “mengikat” secara emosional para pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya. Local wisdom seperti inilah yang tiba-tiba hilang dari ingatan kita sebagai rural community. Sekarang ini, ketika ada keinginan tertentu di antara kita untuk menyampaikan aspirasi, cenderung diekspresikan dengan cara-cara kasar dan lepas dari strategi kebudayaan. Padahal dalam setiap agenda perubahan di dunia ini, strategi kebudayaan menjadi ujung tombak sebuah keberhasilan.


*) Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Gerakan Indonesia Membaca (Koran Tempo, 12 September 2015)



Kewajiban membaca bagi para siswa selama 15 menit yang diatur melalui Permendikbud no 23 tahun 2015 mengenai Program Penumbuhan Budi Pekerti patutlah diapresiasi. Kewajiban seperti ini setidaknya menjadi arena bagi institusi sekolah untuk menyediakan buku-buku yang representatif, selain buku pelajaran; karena selama ini kita tahu betul bahwa perpustakaan di sekolah umumnya hanya menyediakan buku-buku pelajaran yang kering dan instruktif.

Salah satu alasan dalam mewajibkan membaca bagi siswa di Indonesia tertuang pada laporan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 mengenai kemampuan matematika, membaca dan sains siswa berumur 15 tahun di banyak negara di dunia. Berdasarkan laporan tersebut, dari 65 negara, Indonesia berada di level 64. Jadi, tidak salah jika Taufiq Ismail pernah mewartakan “tragedi 0 buku” berdasarkan hasil laporannya setelah membandingkan keterbacaan siswa Indonesia dengan negara lain. Seperti yang dijelaskan di dalam laporan PISA, siswa di Indonesia memang tidak pernah dituntut untuk membaca sehingga kegamangan dalam menganalisasi sesuatu yang sifatnya problematik, sangat terlihat. Siswa di Indonesia lebih terpaku pada proses pembelajaran hafalan, bukan menghayati keterbacaan.
Jadi, jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mewajibkan membaca bagi para siswa di jenjang pendidikan formal, saya sangat mahfum. Dengan cara semacam itu, setidaknya, akan memberikan kegairahan baru, terutama di sekolah formal, dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Namun, ada pertanyaan lain yang juga penting untuk dijawab. Kenapa hanya pendidikan formal saja yang dibidik? Apakah karena pendidikan formal lebih mudah untuk diberikan instruksi? Padahal pendidikan non formal tak kalah penting untuk diperhatikan dan Kemendikbud juga memiliki kewajiban untuk memperhatikan mereka. Kemendikbud tidak boleh hanya mengarahkan titik tekan budaya literasi hanya pada pendidikan formal.
Menggagas Indonesia Membaca
Jika melihat sejarah, geliat literasi justru dimulai dari masyarakat. Istilah Taman Bacaan mulai dipakai pada abad ke-19 dengan munculnya masyarakat Tionghoa peranakan yang haus bacaan. Pada tahun 1970-an, atas kerja sama antara Depdikbud-Unicef mengenai Fasilitas Pemeliharaan Keberaksaraan, dibentuklah Taman Bacaan Kampung. Pada tahun 1992, berganti nama menjadi Taman Bacaan masyarakat dan berkembang cepat di berbagai daerah.
Stian Haklev, seorang peneliti dari Kanada menjelaskan bahwa revitalisasi Taman Bacaan di Indonesia  kian menunjukkan eksistensinya setelah era reformasi di mana para pengelolanya adalah masyarakat umum dengan berbagai latar belakang. Kini, Taman Bacaan tidak hanya menyediakan bahan bacaan saja, tetapi sudah berubah menjadi learning center, sebuah tempat berinteraksi masyarakat dalam mengakses ilmu pengetahuan. Selain itu, ada berbagai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Independensi dari setiap TBM terjadi atas respons dari masyarakat sekeliling, sehingga munullah TBM berbasis kepenulisan, TBM berbasis masjid, TBM berbasis martim, TBM berbasis agraris dan seterusnya.
Hingga saat ini, ada lebih dari 8000 Taman Bacaan Masyarakat di Indonesia yang dikelola oleh masyarakat. TBM-TBM ini hadir mulai dari pelosok pedesaan, ruang-ruang publik seperti terminal, pasar, alun-alun bahkan Pos Yandu. Mereka memiliki keyakinan yang sama bahwa proses literasi adalah jawaban atas kebekuan literer di Indonesia. Dengan segala karakteristiknya, para pengelola Taman Bacaan Masyarakat mencoba untuk menciptakan ruang baru, bahkan meneror masyarakat agar bisa dekat dengan buku. Kita sadar betul bahwa selama ini, pendidikan formal tidak bisa menjawab “tragedi 0 buku” itu. Salah satu indikator kenapa masyarakat kita tidak terlalu gandrung denga budaya baca, karena masyarakat tidak terbiasa dekat dengan bahan bacaan. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah hanya berada di tingkat Kabupaten. Sementara Perpustakaan Desa yang sekarang ini dicanangkan hanya menjadi aksesoris kantor kelurahan dengan buku-buku yang kurang menggairahkan.
Saya kira, sudah waktunya, di bawah kepemimpinan Anies Baswedan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang berawal dan peduli komunitas, mulai berpikir untuk membuat Peraturan Menteri mengenai Budaya Membaca yang lebih holistik dan terarah. Gerakan Indonesia Membaca sudah dilakukan oleh komunitas literasi/ Taman Bacaan Masyarakat semenjak zaman reformasi bergulir. Di berbagai daerah, pada even Hari Buku se-dunia dan Hari Aksara Internasional, muncullah gerakan literasi lokal seperti Yogja Membaca, Kendari Membaca, Banten Membaca, Bandung Membaca dan seterusnya. Gerakan semacam ini adalah bentuk kesadaran dari civil society untuk memunculkan betapa pentingnya budaya membaca. Jika saja Gerakan Indonesia Membaca diadopsi oleh negara, dan Mendikbud menjadi garda terdepan mengenai gerakan ini, saya yakin, budaya membaca di Indonesia akan jauh lebih berkembang sehingga kelak kita tidak dianggap lagi sebagai negara yang tidak berbudaya baca.
*) Ketua Umum PP Forum Taman Bacaan Masyarakat