Saya tidak memiliki data yang cukup valid mengenai berapa kali kampung
adat Cisungsang melakukan ritual “seren taun”. Namun setiap kali saya mengikuti
perhelatan adat tersebut setiap tahunnya, saya menemukan ruang-ruang yang
selalu membahagiakan walaupun harus ditempuh sekitar delapan jam perjalanan
dari kota Serang.
Seperti yang terjadi pada minggu lalu (6/9/2015) ribuan orang memadati
kampung itu untuk menonton sebuah ritual yang secara turun temurun terus
dihayati sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan warga Cisungsang.
Di malam hari, ribuan anak muda asyik mendengarkan lagu dangdut-rock hingga
reggae di tengah lapangan. Udara yang dingin menggigit tak membuat mereka
lantas diam. Semua bersorak mengikuti alunan musik. Di tempat yang tidak
terlalu jauh, musik-musik tradisional pun ikut menggema. Bedanya, para penonton di sini lebih banyak didominasi oleh orang
tua. Modern dan tradisional saling-silang di malam yang gempita itu.
Dari sisi akademik, sulit bagi saya untuk menerima betapa mudahnya antara
kebudayaan tradisi dan kebudayaan modern bergabung tanpa ada pergesekan
sedikitpun di Cisungsang. Tapi begitulah yang terjadi. Maka, di malam itu, saya
berusaha untuk tidak memakai cara berpikir yang sok akademis untuk
bertanya-tanya dan berusaha mengemukakan latar belakang masalah. Sebagai
akademisi, cara berpikir saya memang sudah terlalu sering diracuni dengan
pertanyaan “apa masalahnya?” Dengan penuh kesadaran, saya coba meletakkan cara
berpikir itu di tempat yang sewajarnya dan mulai memosisikan diri saya hanya
sebagai manusia. Dengan begitu, saya ingin lebih terbuka menerima apa yang saya
lihat dan rasakan.
Strategi Budaya
Fenomena kampung adat tentu berbeda dengan kampung lain pada umumnya.
Dengan segala ciri khasnya, mereka berusaha untuk mempertahakan diri dari
gempuran kebudayaan di luar dirinya, walaupun mereka juga paham, pada akhirnya,
lambat laun, interaksi antarbudaya tak bisa dihindari. Infiltrasi semacam ini
adalah keniscayaan. Namun, kita juga bisa belajar pada kampung adat dalam
melakukan strategi kebudayaan. Di Baduy misalnya; dengan dibuatnya pembeda
antara demarkasi “baduy luar” dan baduy dalam” adalah cara bagi mereka untuk
membuat cultural shield sehingga
gempuran kebudayaan luar tidak langsung masuk menghujam inti dari kebudayaan
baduy yang sudah mereka anut selama ini.
Strategi kebudayaan yang tak kalah menarik justru saya temukan di kampung
adat Cisungsang. Tak sedikit para pemerhati kebudayaan Banten yang dengan sumir
mengatakan bahwa kampung adat Cisungsang sudah tak lagi murni. Hawa pop culture seperti dangdut, rock,
reggae sudah menjadi bagian dari acara seren taun sehingga mereka
mempertanyakan orisinalitas seren taun. Belum lagi dengan berdatangannya
komunitas pop culture seperti
“Brother Hood” atau komunitas Jeep yang ikut terlibat setiap tahunnya. Tentu mindset seperti ini tidak salah.
Orisinalitas memang menjadi tolak ukur dari kualitas kampung adat. Namun tak
ada salahnya jika kita mencoba untuk memakai kacamata lain dalam memandang
Cisungsang. Kampung adat Cisungsang tentu tidak bisa disamakan dengan kampung
adat Baduy. Mereka memiliki karakteristik dan way of life yang berbeda walau sama-sama berlatar belakang
kesundaan yang cukup kental. Cisungsang sudah membuka diri dengan pergumulan
modernitas. Rumah, kendaraan, pendidikan dan interaksi sosial sudah tidak terlalu
berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Bahkan tak sedikit yang bekerja
menambang emas. Hal yang paling penting dan menjadi karakter utama dari
masyarakat adat Cisungsang adalah mereka masih berpegang teguh pada prinsip
hidup kesundaan yang secara turun temurun mereka geluti dan acara seren taun
menjadi ritual yang paling monumental dalam kehidupan mereka. Interaksi antara
kebudayaan modern dengan kebudayaan tradisi yang terlihat di kampung adat
Cisungsang justru menjadi bagian yang memiliki nilai tersendiri. Dengan cara
seperti ini, justru ada ruang ikonik lain yang menarik, misalnya walaupun
anak-anak muda itu gandrung dengan musik reggae dan dangdut, tapi mereka menari
dengan ikat khas sunda di kepalanya.
Ruang seren taun pada awalnya adalah upacara penyerahan diri dan ungkapan
rasa suka cita bagi masyarakat Cisungsang atas anugerah yang melimpah dari sang
Maha Pencipta. Rasa suka cita itu kemudian diekspresikan ke dalam rasa syukur.
Semua orang di luar masyarakat adat diundang untuk bersilaturahmi, termasuk
para pemangku kepentingan. Dari sinilah strategi kebudayaan itu hadir. Abah
Usep sebagai pemimpin adat menjadi artikulator masyarakatnya. Ia tak hanya mengungkapkan
rasa bahagia mengenai pembangunan jalan dan infrastruktur yang sedang digarap
oleh pemerintah. Sebagai artikulator, ia juga menyampaikan saran-saran bahkan
kritik kepada pimpinan daerah. Bahkan, ia tak hanya menjadi artikulator
masyarakat adat Cisungsang. Sebagai bagian dari warga Banten Selatan, ia juga
mengungkapkan secara politis dengan ungkapan-ungkapan yang rasional dalam meminta
dukungan gubernur agar Cilangkahan segera dimekarkan menjadi sebuah kabupaten
yang otonom. Keinginan itu ternyata langsung diamini oleh Rano Karno. Sebagai
gubernur yang memiliki latar belakang sebagai budayawan, ia tak hanya mendukung
penuh gagasan masyarakat adat Cisungsang untuk lepas dari kabupaten Lebak,
tetapi menjadi salah satu komitmen RK untuk lebih mementingkan pembangunan di
Banten Selatan. “Masyarakat Banten Selatan ini sudah lama perih hidupnya, pada
akhir kepemimpinan saya yang tidak sampai 2 tahun, saya akan berkomitmen untuk
membangun Banten Selatan," ungkap Rano yang dibalas dengan tepuk tangan
dari warga Cisungsang.
Menurut saya, strategi kebudayaan yang diterapkan oleh kampung adat
Cisungsang cukup berhasil “mengikat” secara emosional para pemangku kepentingan
dan masyarakat pada umumnya. Local wisdom
seperti inilah yang tiba-tiba hilang dari ingatan kita sebagai rural community. Sekarang ini, ketika
ada keinginan tertentu di antara kita untuk menyampaikan aspirasi, cenderung diekspresikan
dengan cara-cara kasar dan lepas dari strategi kebudayaan. Padahal dalam setiap
agenda perubahan di dunia ini, strategi kebudayaan menjadi ujung tombak sebuah
keberhasilan.
*) Dosen Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.