Rabu, 29 Maret 2017

BERANTAS KORUPSI DENGAN MOLI



Pemberantasan korupsi kini bukan hanya menjadi tanggungjawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melainkan sudah menjadi kewajiban semua elemen masyarakat tak terkecuali komunitas. Kesadaran itu sekarang sekarang perlahan mulai tumbuh di kalangan komunitas, seperti yang dilakukan komunitas Komunitas Motor Literasi (Moli). Minggu (27/3) Moli menggelar acara “Lapak Buku” di Alun-alun Kota Serang.

Lapak Buku adalah satu satu program Moli yaitu penyediaan bahan bacaan gratis di area publik. Rencananya kegiatan ini akan di lakukan rutin setiap Minggu. “Acara pagi ini terselenggara berkat kerjasama forum Taman Bacaan Masyarkat (TBM), Komunitas Motor box (Kombo), TBM Cahaya Ilmu Mekar Baru Tangerang, Indonesian Riders, Rumah Dunia, TBM Kedai Proses dan beberapa mahasiswa di Banten,” papar Firman Venayaksa, pengagas Moli.

Dengan programnya Moli kedepan tidak hanya sekadar menyediakan akses bacaan tapi juga berusaha memberi wawasan pada masyarakat akan bahaya laten korupsi. “Moli akan lebih mendekatkan diri dengan masyarakat. Selama satu bulan ini Moli juga sudah mengumpulkan 600 eksemplar buku hasil donasi. Buku-buku ini akan segera kami kembali distribusikan kepada TBM- TBM yang membutuhkan,” ungkap Firman.

Dalam diskusi di pinggir jalan pagi ini Firman menjelaskan, bahwa berbagai komunitas sudah banyak tumbuh di Banten, tapi yang fokus melawan korupsi masih sedikit. Jikapun ada gerakannya masih terkesan parsial sehingga manuvernya tidak terlalu masif. Dengan adanya Moli diharapkan bisa mengabungkan komunitas atau individu  tersebut, sehingga perlawanan terhadap korupsi di Bneten semkin kokoh. “Perlu diketahui juga Moli adalah gerakan sosial non profit. Moli juga terbuka untuk komunitas lain dan individu, jika ada yang ingin bergabung, silahkan. Syaratnya hanya punya motor untuk bawa buku dan yang terpenting adalah kesamaan visi yaitu anti korupsi dan membangun literasi,” Jelasnya.

Moli Pagi ini juga Moli mendapat sumbangan buku dari April, Guru SD 13 Kota Serang. April menyumbangkan tiga dus buku untuk Moli. April mengaku senang dengan kehadiran Moli, “semoga buku ini bisa bermanfaat bagi orang lain,” ungkapnya.

Komunitas yang mempunyai tag line “ride for humanity, more ride more read” ini akan kembali menggelar Lapak Buku di Alun-Alun  Rangkasbitung, Minggu (2/4). Selain gelar menggelar Lapak Buku rencananya akan ada juga perlombaan anak dan mendongeng. (rudi)

Selasa, 28 Maret 2017

KAMPUNG LITERASI DI MANOKWARI



Namanya Aksamina Kambuaya. Sehari-hari ia dikenal sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP 19 Manokwari sejak tahun 2000. Rumahnya persis berada di samping sekolahan yang beralamat di jalan Sufado, Pasir Putih. Sebagai seorang pendidik, ia sadar betul bahwa butuh kerja keras. Seorang pendidik bukan hanya bekerja untuk mentransfer ilmu pengetahuan semata. Lebih jauh dari itu, ia memiliki tugas untuk menjadikan murid-muridnya paham membedakan baik dan buruk, benar dan salah serta membantu kepribadian mereka menjadi lebih baik. Aksamina menjelaskan bahwa mengenalkan pendidikan karakter perlu intensitas yang lebih dibandingkan pendidikan lainnya.

Aksamina pun sadar betul bahwa disparitas antara masyarakat Manokwari dengan provinsi lain cukup jauh tertinggal. Ketika ia mengajar di pendidikan formal, masih banyak masyarakat di sekitar yang belum bisa mengakses pendidikan. “masyarakat di sini masih banyak yang buta huruf,” ujarnya. Maka, ia pun berusaha untuk melebarkan usahanya dengan mencoba mengajak masyarakat untuk bisa mengakses pendidikan.

Selama ini, Papua, lebih khusus Manokwari, masih banyak masyarakat di sekitar Manokwari yang belum bisa membaca. Kondisi inilah yang membuat Aksamin Kambuaya terpanggil. Pada tahun 2007 bersama Misbach, ia kemudian bergabung menjadi tutor di PKBM Sufado. Di tahun-tahun berikutnya Aksamina Kambuaya, atas dorongan Misbach, mendirikan PKBM sendiri yang diberi nama PKBM Wefo.

Misbach adalah Kepala Sekolah di SMP 19 Manokwari. Dari atasannya itulah Kambuaya mengenal pendidikan nonformal. Kambuaya mengaku bahwa Misbach adalah atasan sekaligus guru yang mampu mengajarkannya belajar lagi, terutama pendidikan nonformal. “Pak Misbach adalah kepala sekolah yang baik. Dia mendorong saya untuk melanjutkan semangat mengajarkan pendidikan ke masyarakat. Bahkan setelah PKBM Sufado ditutup, pak Misbach yang mendorong saya untuk membuka layanan satuan pendidikan untuk masyarakat. Sekarang Pak Misbach membuat Noken Pustaka dan kami terus bekerjasma hinggat saat ini.”

Setiap minggu, bersama teman-temannya, Aksamina Kambuaya datang ke kampung-kampung mengajarkan membaca. “Awalnya sulit,” ungkapnya. Maka, di dalam mengajarkan literasi dasar, ia menggandeng pihak-pihak yang dihormati oleh masyarakat seperti pendeta. Dan berhasil. Masyarakat banyak yang datang.

Kampung Literasi
Aktivitas Aksamina Kambuaya kian dikenal oleh masyarakat. Ia membuat jejaring dengan banyak pihak, hingga pada tahun 2014 ia diamanahi menjadi Ketua Pengurus Wilayah Forum TBM Manokwari. Dari sinilah Aksamina mulai terbuka wawasannya terkait dengan kegiatan literasi. Di rumahnya, ada ratusan buku yang didapat dari hasil sumbangan maupun atas inisiatif membeli sendiri. Hampir setiap hari TBM yang didirikannya didatangi oleh masyarakat, terutama siswa yang ada di sekolahnya.

Pada tahun 2016, lembaga Wefo mendapatkan amanah dari Kemendikbud untuk melaksanakan Kampung Literasi. Bagi Aksamina, Kampung Literasi adalah hal yang sudah biasa dilakukan olehnya dan teman-teman di Wefo selama ini. “Ketika dipercaya menyelenggarakan Kampung Literasi, kami cukup terbantu, terutama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan masyarakat. Selain itu, Kampung Literasi juga menjadi semacam pengakuan dari pemerintah pusat bahwa apa yang kami lakukan dipantau dan dihargai keberadaannya,” ungkap Aksamina.

Seperti yang dijelaskan oleh Aksamina, umumnya masyarakat Manokwari memiliki halaman yang luas. Di halaman itu mereka membuat “para-para”. Semua rumah di Manokwari umumnya memiliki para-para. Tempat itu adalah ruang berinteraksi bagi masyarakat. Aksamina menggunakan para-para untuk menyimpan buku-buku sehingga ketika masyarakat sedang istirahat, mereka bisa mengakses bahan bacaan.

Ketika ditanya mengenai suka-duka menjadi pengelola pendidikan masyarakat, Aksamina mengatakan bahwa ia menyukai pekerjaannya. “Kendala pasti ada. Apa lagi di Manokwari yang infrastrukturnya masih sangat terbatas. Kadang saya harus berjalan hingga lima kilo meter ke tempat yang dituju untuk mengajarkan baca tulis. Tetapi saya tidak patah semangat.

Masyarakat di sini masih membutuhkan pendidikan, terutama perempuan.”
Di dalam melaksanakan program literasi, Aksamina yang memang penduduk asli Papua tidak terlalu kesulitan dalam berkomunikasi. Ia diterima oleh masyarakat pada umumnya. Kerjasama dengan pendeta dan kepala suku dalam melaksanakan kegiatan literasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan.

“Masyarakat akan lebih percaya jika ada penyuluhan dari kepala suku dan pendeta, sehinga mereka adalah jejaring kami dalam mengentaskan buta aksara,” ungkapnya.
Berbeda dengan kampong literasi di daerah lain, Aksamina lebih banyak mendatangi langsung penduduk. Hal ini terjadi karena masyarakat belum mengetahui secara langsung mengenai manfaatnya. Namun ia sadar betul bahwa masyarakat di Manokwari sangat terbuka. “Kalau saya mendatangi kampong-kampung di sini, biasanya mereka memberi makanan berupa umbi-umbian. Itu membuat saya cukup terharu dan percaya bahwa keinginan untuk belajar sebetulnya sudah ada.”

Aksamina Kambuaya adalah salah satu dari sekian banyak masyarakat Manokwari yang terbuka hati dan pikirannya untuk membangun masyarakat di sekelilingnya. Ia percaya bahwa pendidikan adalah akses tercepat agar masyarakat Manokwari segera meninggalkan predikat ketertinggalannya. Semoga ke depan, tercipta lagi Aksamina lainnya sehingga masyarakat Manokwari bisa bersejajar dengan provinsi lainnya di Indonesia.