Senin, 17 April 2017

PERKEMBANGAN GERAKAN LTERASI DI BANTEN *)


Sekitar 10 tahun belakangan ini, di Indonesia, istilah literasi mulai mewabah; Mulai dari literasi finansial, literasi lalulintas bahkan literasi kopi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Gerakan Literasi Nasional, mulai memunculkan enam literasi dasar yaitu literasi bahasa, literasi berhitung/ numeric, literasi sains, literasi teknologi informasi dan media, literasi keuangan serta literasi kebudayaan dan kewarganegaraan. Pertanyaannya, apakah literasi itu?

Secara etimologis, literasi diambil dari bahasa latin “literatus” yang berarti orang yang belajar. Menurut UNESCO , pemahaman seseorang mengenai makna literasi sangat dipengarungi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan pengalaman. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa entitas literasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia hadir atas pengaruh dari pelbagai institusi sosial yang melingkupinya.

Jika kita menggali dari sisi istilah, maka kita akan bertemu beberapa kata yang berdekatan yaitu literacy (literasi), literary, literature/ litere (literatur) bahkan letter (huruf). Terlepas dari istilah-istilah yang muncul tersebut dan pasti akan berkembang sesuai dengan definisi yang dianut, potensi benang merah dari semua itu adalah menukik pada aktivitas membaca dan menulis. Dengan demikian, konsep literasi bermula pada dua keterampilan berbahasa tersebut, sehingga apapun pengembangan definisi literasi, maka ia tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas membaca dan menulis.

Apa lagi jika kita merunut pada sejarah dijadikannya tanggal 8 September sebagai “International Literacy Day” yang didasari dari konferensi Tingkat menteri Negara-negara anggota PBB pada tanggal 17 november di Teheran, Iran. Waktu itu hampir 2/3 masyarakat dunia buta huruf sehingga momentum “International Literacy Day” menjadi vocal point di dalam mengingatkan dunia mengenai persoalan ini. Jadi jika ada yang “menggugat” terjemahan dari “International Literacy Day” menjadi “Hari Aksara Internasional” dari sisi historis inilah kita dapat memahaminya, walau dari sisi fungsional, istilah literasi dikecilkan maknanya menjadi hanya sekadar “keaksaraan”. Setelah 50 tahun sejak ditetapkannya di Taheran, ada baiknya Indonesia mengubah kembali istilah ini kembali ke muasalnya menjadi “Hari Literasi Internasional” karena isu buta aksara sudah dianggap hampir selesai.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa literasi menjadi tren baik di kalangan pemerintah, institusi formal hingga komunitas? Bagi Indonesia yang hingga kini masih dilabeli sebagai Negara berkembang, urusan literasi (dengan definisi yang lebih general) belumlah usai. Kita masih dibayang-bayangi oleh kemampuan literasi yang rendah. Menurut data Unesco, pada tahun 2012, minat membaca masyarakat Indonesia hanyalah 0,001. Itu artinya dari 1000 penduduk, hanya 1 orang yang mau membaca dengan serius. Pada pemeringkatan terbaru, menurut data World’s Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti. Indonesia hanya satu peringkat lebih baik dari Botswana, sebuah Negara miskin di kawasan selatan Afrika. Aspek yang diuji antara lain perpustakaan, Koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Sementara untuk urusan akses media internet, Indonesia justru masuk dalam peringkat ke-6 besar sebagai pengguna internet terbesar setelah Cina, Amerika serikat, India, Brazil dan Jepang.  Problematika yang dilematis seperti inilah yang sekarang ini melanda Indonesia. Jika lebih dari 83,7 juta masyarakat Indonesia mengakses internet pada tahun 2014, dan menurut perkiraan eMarketer pada tahun 2017 ini akan meningkat mencapai 112 juta orang dan diprediksi mengalahkan Jepang, pertanyaannya digunakan untuk apakah masyarakat Indonesia ketika mengakses internet? Jawabannya media sosial. Masyarakat Indonesia menempati rangking ke-2 di dunia setelah Amerika serikat.

Dalam konsep budaya membaca, setidaknya ada tiga pengelompokkan yaitu iliterat, aliterat dan literat. Iliterat adalah masyarakat yang sama sekali tidak mengenal dunia baca-tulis. Aliterat adalah masyarakat yang sudah terbebas dari buta aksara. Mereka bisa membaca dan menulis tetapi tidak menjadi bagian dari kebudayaannya. Sementara kelompok yang ketiga adalah masyarakat literat yaitu masyarakat yang sudah menjadikan membaca dan menulis terfungsikan dan menjadikannya sebagai sebuah kebudayaan. Jika melihat pengelompokkan tersebut, masyarakat Indonesia, kendati masuk dalam peringkat ke-2 di dunia yang menggunakan facebook, tetap menjadi bagian masyarakat yang aliterat karena secara konsep dan karakteristiknya, pengguna media sosial hanya memakai tulisan sebagai alat komunikasi lisan. Artinya kendati memakai sarana “letters” tetapi penggunaannya lebih cenderung untuk “lisan”. Hanya sedikit saja pengguna media internet di Indonesia yang menjadikannya sebagai sarana literat seperti mengunduh e-book atau mendapatkan sarana informatif yang transenden. Umumnya, para “pembaca” facebook adalah pembaca permukaan. Ia hanya membaca untuk sekadar tahu, belum masuk terlalu dalam pada ranah pengetahuan, sehingga mindset aliterat tetap dipergunakan kendati ia memakai “tools” yang seakan literat.

“Melawan” Unesco
Kesadaran literasi di Banten, sebagai nukilan awal untuk memperlihatkan kepedulian komunitas terhadap problematika literasi di Indonesia bisa dipelajari dari Komunitas Rumah Dunia. Sebagai komunitas literasi yang berdiri pada tahun 2002, Rumah Dunia cukup konsisten dalam menggerakkan publik terkait pentingnya budaya membaca. Di dalam penelitian Stian Haklev, seorang peneliti dari Kanada  Rumah Dunia adalah salah satu komunitas Taman Bacaan yang berdiri atas pengaruh dari runtuhnya Rezim Orde Baru dan munculnya Orde reformasi. Kemunculan Taman Bacaan Independen ini juga beranjak dari kesadaran literer yang tumbuh karena sulitnya masyarakat mengakses bahan bacaan. Rumah Dunia yang digagas oleh Gol A Gong, Toto St Radik dan Rys Revolta dimuarakan sebagai komunitas learning center terutama sastra dan jurnalistik. Sebagai komunitas yang terbuka, Rumah Dunia menjadikan pembelajarnya (juga) sebagai relawan. Dari sinilah cikal bakal gerakan literasi, terutama di Banten, berkembang. Bahkan Rumah Dunia menjadi salah satu pendorong terbentuknya Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Banten yang ketika itu ironisnya justru dipertanyakan kemanfaatannya untuk masyarakat Banten oleh anggota DPRD. Lima belas tahun kemudian, sekitar 400 Taman Bacaan masyarakat tumbuh di Banten. Secara langsung atau tidak, Rumah Dunia menjadi bagian penting dari menjamurnya TBM di Banten. Pada titik ini, parameter kepedulian dari komunitas maupun masyarakat mulai berangsur terbukti. Fenomena ini juga menjadi semacam “perlawanan” komunitas terhadap penghakiman yang dilansir oleh Unesco mengenai minat membaca masyarakat Indonesia yang masih sangat rawan.

Konsep penting yang muncul di Komunitas Literasi/ Taman Bacaan Masyarakat di Banten adalah dengan menjadikan TBM tersebut sebagai learning center. TBM tidak hanya berupaya untuk mendekatkan bahan bacaan kepada penggunanya (masyarakat), tetapi juga melakukan empowering berupa softskill maupun hardskill yang secara jelas terlihat. Misalnya, di TBM Kedai Proses, konsep TBM diarahkan pada pendekatan teater dan kultural. Mereka menggunakan pendekatan ini untuk menjadikan TBM sebagai magnet bagi anak-anak muda dan mahasiswa untuk datang dan menjadi bagian dari TBM tersebut. Sebagai TBM yang diinisiasi oleh Kampus STKIP Setiabudhi Rangkasbitung, Kedai proses juga dikenal sebagai TBM berbasis kampus. Hampir semua relawannya adalah civitas akademika. Selain TBM yang independen, ada juga TBM yang menyatu dengan Pusat Kegiatan belajar mengajar (PKBM) sehingga bagi pengguna TBM, di sisi lain mereka juga bisa memanfaatkan PKBM sebagai sekolah nonformal sehingga jenjang keilmuan tetap bisa diakses.

Motor Literasi
Pada tahun 1986, Baharudin, seorang guru di daerah Menes Pandeglang, dengan memakai motor yang berisi buku-buku bacaan, ia berkeliling untuk mencari pembaca. Pada masa yang sama, Di Rangkasbitung, ada penyewaan buku bacaan Rengganis yang juga cukup terkenal. Pada tahun tersebut, bahan bacaan masih digandrungi oleh pembaca. Selain karena hiburan masih terbatas (hanya ada TVRI) bahan bacaan menjadi alternatif hiburan dan pendidikan kendati mereka harus menyewa bahan bacaan. Namun, seperti pengakuan Baharudin, kini buku bacaan tidak lagi terlalu digandrungi, padahal ia sudah tidak lagi meminta pembacanya untuk menyewa. Hal ini berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh TBM Sumlor yang dimotori oleh Ugas. Ketika mereka mendatangi desa-desa dengan Bajaj literasi, pembaca di setiap desa cukup antusias. Untuk mendatangkan pembaca, Ugas yang dikenal sebagai pendiri Kelompok Pengamen Jalanan (KPJ) Rangkasbitung memulainya dengan pendekatan musik. Strategi ini menjadikan TBM Sumlor tetap diminati dan didatangi oleh pembacanya.

Seperti ketika hendak berperang, strategi harus dimiliki oleh penggiat literasi. Tak-tik dan gaya para penggiat tentu berbeda di masing-masing tempat. Secara umum, TBM di Banten memiliki dua konsep layanan. Pertama layanan klasikal yang menunggu pembaca mendatangi TBM, kedua layanan proaktif, agar bahan bacan bisa mudah diakses oleh pembacanya, beberapa komunitas literasi/ TBM berusaha mendatangi pembacanya. Pada tahun 2008, Rumah Dunia sudah memulai layanan perpustakaan keliling ini. Sebuah Bajaj dengan kekuatan 80cc dipakai untuk mengangkut buku-buku. Bajaj ini diperoleh dari bantuan Nurani Dunia dan XL Care dan mendatangi kampung-kampung di sekitar Kota dan Kabupaten Serang. Selain membuka perpustakaan keliling, untuk merangsang pembaca, terutama anak-anak, relawan Rumah Dunia mengadakan lomba-lomba seperti baca puisi dan menggambar. Pada tahun 2009, karena Rumah Dunia mendapatkan motor perpustakaan keliling dari Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA) maka Bajaj dialihkan penggunaannya ke TBM Kedai Proses dan tak lama kemudian beralih ke TBM Sumlor KPJ Rangkasbitung. Pada tahun 2014, Rumah Dunia diamanahi oleh Majalah Ummi untuk bertanggungjawab mengelola mobil perpustakaan keliling. Di sisi lain, TBM Kedai Proses dibantu oleh Kemdikbud. Mereka diamanahi mobil GIM untuk melayani para pembaca di daerah Banten. Dengan berbekal beberapa kendaraan tersebut, strategi jemput bola dengan mendatangi langsung ke masyarakat adalah tipe lain dari kounitas literasi untuk mendekatkan buku kepada para pembacanya.

Pada tahap ini, kemunculan TBM dengan melakukan upaya mendekatkan diri dengan pembacanya sudah mulai marak dilakukan. Para relawan literasi memiliki kepercayaan bahwa TBM tidak hanya semata-mata statis. Mereka berusaha pula untuk bergerak dengan harapan semakin banyak masyarakat yang bisa mengakses buku. Pertanyaannya, bagaimana jika geng motor ikut bergerak untuk terlibat dalam gerakan literasi ini?

Bukan rahasia umum bahwa geng motor sering menjadi biang kekacauan. Dengan gaya subkultur mereka, geng motor sangat ditakuti dan menjadi “musuh” masyarakat. Menurut data Indonesia Police Wach mengungkapkan bahwa setiap tahun lebih dari 60 orang tewas karena ulah geng motor. Kondisi ini makin memperkeruh citra geng motor di Indonesia. Di dalam teori cultural studies, budaya anak muda dan geng motor tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Di dalam perkembangannya, Cultural Studies menaruh perhatian yang cukup besar pada subkultur. Para teoresi di Brimingham Centre seperti Hebdige, Clarke, Cohen, McRobbie, Willis dan Grossberg pernah membahas mengenai subkultur terutama yang dikaitkan dengan musik khas, gaya pakaian, aktivitas hiburan, tari dan bahasa yang diasosiasikan dengan anak muda. Selain sebagai peneliti, perhatian mereka terhadap kebudayaan anak muda terjadi karena mereka bagian dari generasi babyboomer.

Dari segi istilah, kata “sub-kultur” merupakan pembeda dari budaya dominan. Subkultur berada di tepian dari induk kulturnya yang berposisi di pusat. Istilah –sub memiliki jarak, sehingga subkultur sering dirujuk pada bentuk perbedaan dari kebudayaan pada umumnya. Bahkan pada predikat lain, anggota subkultur dianggap sebagai orang-orang yang menyimpang. Hal tersebut terlihat dari beberapa penelitian mengenai komunitas Skinhead, Teddy Boys, Punk, Holigan, geng motor, yang dianggap sebagai komunitas menyimpang oleh budaya dominan.

Dengan demikian, anggota geng motor kerap kali dianggap sebagai komunitas yang menyimpang. Hal ini dikarenakan entitas komunal mereka yang tidak bisa dipahami oleh institusi dominan. Di dalam perkembangannya, dengan pelbagai peristiwa geng motor yang cukup negatif beberapa perkumpulan motor melakukan redefinisi dan membuat status social baru dengan mengganti istilah “geng” menjadi klub, komunitas atau kelompok. Gaya eufimisme ini tentu bisa diterima walaupun dalam beberapa aspek, mereka tetap terbedakan dengan institusi induknya.

Namun, beberapa waktu ini, terjadi fenomena yang cukup menarik untuk ditelisik. Di Banten, beberapa geng (baca: komunitas, kelompok, klub) membentuk sebuah kelompok besar yang dinamakan “Motor Literasi” (Moli). Moli yang diinisiasi oleh penggiat literasi (Forum TBM), mahasiswa dan komunitas motor di Banten cukup menjadi oase di tengah percaturan politik yang kian hari kian menjemukkan. Kini anggota Motor Literasi sudah berjumlah sekitar lima puluh orang dan terus bertambah. Seperti yang dilansir oleh detik.com (16/04/2017) bahwa aktivitas Moli digagas sekitar 2 bulan lalu. Motto yang mereka pakai adalah “Read More, Ride More”. Tujuannya selain menggelar lapak buku di car free day di kota-kota se-Banten, perkumpulan ini juga melakukan pengembangan taman bacaan di desa-desa. Selain itu, hampir setiap hari mereka mendatangi (door to door) rumah-rumah yang hendak menyumbang buku.

Seperti diketahui para pengelola TBM umumnya masih kekurangan buku. Moli menjadi solusi dengan menjadi “bridging” antara masyarakat yang hendak mendonasikan buku dengan TBM yang membutuhkannya.  Kelebihan dari komunitas motor adalah jumlah pengikutnya yang cukup banyak. Di Moli, ada empat komunitas motor yang sekarang berkumpul yaitu Indonesian Rider, Supermoto Lebak, Kombo Banten dan komunitas Vespa. Dengan menyebarnya anggota-anggota mereka di berbagai kabupaten di Banten sangat memudahkan dalam pengambilan buku-buku langsung ke rumah. Hanya dalam satu bulan, sudah lebih dari 2000 buku yang didapat. Sebelum mereka memberikan donasi buku kepada TBM yang membutuhkan, mereka melakukan Shorting-Packing-Distributing (SPD). Selain itu, mereka juga bekerjasama dengan KPK, terutama ikut mengkampanyekan dan memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang antikorupsi.

Motor Literasi yang kini mulai terlibat di dalam gerakan literasi di Banten, turut menambah khazanah strategi literasi yang dilakukan oleh pelbagai pihak. Ikhtiar yang cukup menarik ini dengan melakukan komodifikasi terhadap geng motor, secara tidak langsung mulai mengikis citraan negatif bagi pencinta motor di Banten khususnya. Di sisi lain, dengan kehadiran Motor Literasi, setidaknya ada sejarah baru bagi pengembangan budaya baca di Banten.

*) disampaikan pada seminar literasi yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Banten, 17 April 2017.