Selasa, 21 Januari 2020

Demo Gaya Anak Muda Era Dilan


Oleh Firman Hadiansyah*)

Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa baru-baru ini di pelbagai kota besar di Indonesia, telah menjadi alarm bagi kita sebagai bangsa. Selayaknya alarm, ada yang terbangun dari tidur lelapnya dan menjadi bagian dari penyaksi sejarah, ada juga yang pura-pura tidak mendengar karena dianggap sebagai aktivitas lazim sehari-hari bahkan tidak menjadikan kegiatan tersebut sebagai sebuah fenomena. Biarlah pembelahan itu terjadi. 
Dengan perkembangan media massa yang sangat canggih dan deras, siapapun akan mudah mendapatkan informasi atas kejadian tersebut. Bagi orang-orang yang nyaman dalam institusi dominan, apa yang dilakukan mahasiswa bukanlah kejadian yang gagah. Bahkan lazimnya kebudayaan orangtua, maka yang terbersit dalam pikirannya adalah membandingkan dengan angkatan sebelumnya ketika usia mereka sedang mekar-mekarnya di masa lampau lalu dilanjutkan dengan pernyataan semacam ini, “saya juga pernah jadi aktivis dan apa yang dilakukan mahasiswa sekarang sangat tidak terorganisir, tuntutannya tidak jelas, payah dan lebay. Jangan-jangan mereka tidak pernah membaca rancangan undang-undangnya.” Setidaknya begitulah pengakuan yang kita simak pada debat di televisi dan tulisan parsial yang bertubi-tubi di media sosial.  Klaim merasa lebih baik dan literat dari generasi sebelumnya memang ciri khas kebudayaan orangtua yang cenderung jumawa dan selalu berusaha menggurui dalam setiap kesempatan. 
Namun bagi anak-anak muda yang baru lepas dari ritus kanak-kanak dan belajar mengkonstruksi identitasnya untuk masuk dalam ruang youth culture (budaya anak muda),perlawanan mahasiswa yang diperlihatkan itu dianggap heroik, inspiratif dan penuh gaya. Semprotan water canon dan gas airmata yang dilawan dengan tegak telah menumbuhkan ruang imaji yang solid. Mengalirnya darah dari pendemo dan pekik perlawanan adalah potongan partisi yang mendidihkan angan-angan. Apa lagi dengan viral-nya video para siswa STM yang berlarian dalam shaf demonstrasi mahasiswa dan disambut dengan gegap gempita, makin merepresentasikan imaji ideal sebuah perlawanan itu. Video itu sangat mirip dengan film Dilan ketika mereka hendak tawuran. Dengan energi meluap khas anak muda, maka bisa jadi budaya anak muda hari ini layak disebut sebagai budaya anak muda era Dilan yang santai menghadapi problematika hidup tetapi garang jika ada yang mengusiknya.
Dalam tulisan ini, saya tak hendak mengikuti perangai generatif yang mengatakan bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan siswa itu ditunggangi dengan agenda tertentu, ada yang mengarahkan dan sejumlah tendensi lainnya. Bagi saya cara-cara semacam itu terlampau sumir dan abstrak. Maka yang hendak didedahkan adalah mengurai fenomena demonstrasi itu dalam bingkai budaya anak muda.
Budaya anak muda adalah sebuah subkultur yang sering dikontraskan dengan budaya dominan. Ia selalu berupaya untuk membuat diferensiasi  sebagai ajang dalam mengkonstruksi identitas sosialnya sehingga terbedakan dengan budaya dominan. Maka perlawanan terhadap institusi keluarga, masyarakat dan negara menjadi bagian yang tak terpisahkan. Perlawanan yang dilakukan biasanya diperlihatkan dengan penuh gaya. Namun dalam ranah sosiologis, seperti yang terlihat pada  zaman Orde Baru, bahkan hingga kini, istilah anak muda/ pemuda yang dianggap politis dan berkonotasi revolusioner kemudian didefinisikan ulang menjadi remaja atau ABG (Anak Baru Gede) yang memiliki kesan apolitis. 
Di dalam melakukan konsep perlawanan, mereka memanfaatkan dan cukup lekat dengan pop culture sebagai bagian dari kehidupan keseharian. Jadi jangan kaget jika pada demonstrasi yang terjadi di era ini dan tidak pernah terjadi pada era sebelumnya, muncullah pamflet-pamflet kekinian yang membuat kita tersenyum misalnya “Itu DPR apa lagunya Afgan? Kok sadis” atau “Jangan matikan keadilan, matikan saja mantanku.” Gaya semacam ini seakan mencoba untuk menarik demarkasi antara kebudayaan anak muda yang santai dengan kebudayaan dominan yang serba serius dan penuh target-terget tertentu.
Dari sisi jenjang usia, PBB mendefinisikan usia anak muda antara 10-24 tahun. Namun demikian, PBB mengakui bahwa terdapat pemahaman yang bermacam-macam dalam mengklasifikasikannya. Pemahaman sosial, dan budaya dari berbagai kelompok tersebut serta bagaimana definisinya pada tingkat nasional maupun daerah perlu dipertimbangkan lebih lanjut.Disinilah posisi siswa dan mahasiswa memiliki pertautan. Mereka sama-sama merasa bagian yang saling terkoneksi seperti selera, ruang aspirasi, gaya hidup dan terkomodifikasi, karena pada tataran tertentu budaya anak muda tidak membedakan institusi formal seperti anak sekolah atau mahasiswa. Maka ketika siswa ikut demonstrasi seperti para mahasiswa, mereka sebetulnya tidak mencari “kebenaran.” Stimulasi yang muncul adalah mereka merasa menjadi bagian dari budaya anak muda yang memiliki kelas yang sama sehingga demonstrasi yang dilakukan adalah upaya untuk menggapai konstruksi identitas sosial.
Sayangnya ada ruang kosong yang menjadi kelemahan pada budaya anak muda yaitu masih munculnya ketergantungan secara kapital dan sosial. Pada fase ini, anak muda tidak memiliki independensi sehingga kontrol yang dilakukan oleh budaya dominan menjadi sangat kuat. Mereka bisa saja berdemonstrasi tetapi negara melalui tangan-tangan aparat di lapangan yang membereskannya lalu mengembalikan kepada institusi keluarga dan masyarakat. Dengan konstruk budaya dominan itulah aparat seakan memiliki legitimasi untuk menghantam dan meredam walaupun di sisi lain, ketika di masa-masa tenang, negara sering membuat diktum yang ber-oposisi dari perilakunya di masa genting, misalnya, “pemuda adalah harapan bangsa” atau “pemuda adalah tulang punggung negara.”
Berdasarkan pemikiran di atas dan menautkan pada konteks hari ini, demonstrasi siswa dan mahasiswa kepada institusi dominan seperti Negara adalah konkretisasi dari cara mereka dalam melakukan perlawanan. Isu yang dikembangkan hanyalah alasan awal untuk memperlihatkan kecemasan mereka dalam merespons persoalan di negeri ini. Panggung elite yang memperlihatkan keonaran seperti revisi KPK yang tiba-tiba,  dan rancangan undang-undang lainnya telah membuat anak-anak muda jengah dan terusik sehingga dengan cara semacam itulah mereka ingin mendapat perhatian bahwa pada akhirnya merekalah yang nanti akan “terbebani” dan menjalani produk-produk regulasi itu. Maka mendengarkan suara anak muda adalah keniscayaan karena semangat zaman telah beralih.





*)Pengamat Youth Culture, Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten