Sabtu, 11 September 2021

PERGURUAN TINGGI DAN MENARA AIR


Peresmian gedung Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) kampus Sindangsari yang baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo disambut kebahagiaan oleh sivitas akademik dan masyarakat Banten secara umum. Kehadiran Presiden menjadi simbol sekaligus pengakuan bagi institusi kampus yang terus memperbaiki kualitas. Terobosan-terobosan konsep, segala prestasi baik oleh mahasiswa dan dosen, termasuk tenaga kependidikan di dalamnya, ternyata sampai ke telinga pemegang kebijakan di negeri ini. Tentu ini patut disyukuri. Untirta sudah mulai menjadi kampus yang laik diperhitungkan sebagai kampus besar dan bermartabat. Kerja panjang universitas dengan segala problematikanya memang belum tuntas dan mungkin takakan pernah tuntas. Namun, setidaknya, dalam perjalanan institusi ini, berhenti sejenak pada momen-momen historis semacam ini penting untuk disikapi. Bukan hanya menjadi senandung perayaan; juga menjadi ruang kontemplatif.

Hijrah Intelektual

Pada peresmian tersebut, Presiden Jokowi memberikan sambutan yang singkat namun cukup bermakna dan dapat menjadi perbincangan panjang. Sambutan Presiden tidak hanya tertuju pada Untirta, tetapi menjadi konsentrasi bersama bagi insan Perguruan Tinggi/ akademisi di Indonesia. Pertama, ia menggarisbawahi keteladanan dari Sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh Nawawi al-Bantani, simbol perpaduan kekuatan ulama dan umaro yang mewakili  karakter kepemimpinan dan intelektual. Perguruan tinggi harus menjadi pusat pengembangan keilmuan dan pusat kaderisasi kepemimpinan nasional. Kedua, Untirta harus berperan sebagai lokomotif kemajuan di Provinsi Banten dengan tetap bersikap moderat, menghargai kemajemukan dan kebinekaan. Ketiga, Perguruan Tinggi tidak di menara gading, tapi harus memfungsikan diri sebagai menara air, di mana hasil penelitian kampus harus langsung dirasakan oleh masyarakat.

Dari ketiga hal itu, hal yang paling menarik dari obrolan warung kopi dosen dan mahasiswa di kampus tertuju pada dikotomi antara “menara gading” dan “menara air”. Sudah menjadi persepsi umum bahwa akademisi hari ini seperti berada di menara gading, menjadi masyarakat eksklusif, sulit terjangkau masyarakat pasar, dan memiliki predikat sebagai brain trust adiluhung. Anggapan semacam ini tentu bisa menjadi kekhawatiran bersama bahkan bisa menjadi bagian dari pengkultusan yang naif. Maka ketika Presiden melontarkan ini di dalam sambutannya, ia menjadi representasi Negara untuk merekatkan bahkan mentransformasikan dikotomi yang ada itu. Di sisi lain, akademisi yang berada di Perguruan Tinggi itu juga penting untuk mawas diri sehingga pengalaman literernya perlu untuk disubstitusikan kepada publik yang lebih luas. 

 Jika menelusuri kembali makna akademik pada relnya, seperti yang ditulis oleh Mahbub Setiawan, bahwa akademik adalah kata yang mencerminkan kebebasan, kejujuran, transparansi yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Maka sejatinya tidak ada istilah berbau akademis, terlalu akademis atau sebutan lain yang seolah-olah mencerminkan keadaan yang terisolasi dari realitas publik.

Akademik adalah sebutan sebuah kawasan terbuka bagi siapapun masyarakat yang dapat melontarkan gagasan apapun secara terbuka/ inklusif. Ia tidak direduksi oleh latar balakang kelas masyarakat atau kepentingan-kepentingan pragmatis. 

Potensi ini juga sempat dipresentasikan oleh pemikir seperti Antonio Gramsci yang memilah antara intelektual tradisional dan intelektual organik. Cara berpikir Gramscian, jika dikaitkan dengan pesan Presiden, maka intelektual tradisional inilah yang dianggap sebagai menara gading, sementara intelektual organik diposisikan sebagai menara air yang dengan kapasitasnya dapat menjawab kebutuhan dari kebuntuan problematika publik sehingga dapat terlibat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di lingkungan masyarakat. 

Dua kondisi ini memang terjadi di institusi akademik dan menjadi persinggungan yang alamiah. Penyebabnya adalah akademisi disibukkan dengan kegiatan pengajaran dan penelitian sehingga kodrat lainnya untuk melakukan pengabdian pada masyarakat, yang jelas-jelas menjadi ruh Tridarma Perguruan Tinggi, sering keteteran dan masih dianggap sunah dengan tenaga penghabisan di luar pengajaran dan penelitian. Pengabdian pada masyarakat dianggap telah terjadi ketika mahasiswa melakukan KKM selama satu bulan dan dosen cukup datang di awal dan akhir kegiatan. 

Jika ada akademisi yang memiliki konsentrasi pada problematika sosial di masyarakat dan melakukan advokasi yang bertumpu pada ilmu yang dimilikinya, malah menjadi isu yang tidak menyenangkan di internal kampus. “Anda itu dosen, bukan LSM, maka bertindaklah seperti dosen pada umumnya.” Cara pandang semacam ini tentu berkebalikan dengan pesan Presiden yang menginginkan Perguruan Tinggi menjadi menara air. Maka momentum ini seyogianya dapat menjadi hijrah intelektual bagi masyarakat kampus untuk kembali memfungsikan dirinya dalam mengadvokasi dan menjawab kebutuhan publik. Penelitian-penelitian yang dilakukan harus didesiminasi dan tidak berakhir pada jurnal-jurnal ilmiah yang sebetulnya hanya diakses oleh akademisi itu sendiri dengan saling kutip satu sama lain untuk menambah kredit kenaikan pangkat.

Belajar Merdeka melalui Kampus Merdeka

Menara air yang dimaksud Presiden sebetulnya sudah diikhtiarkan oleh Dirjen Dikti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan mengusung Program Kampus Merdeka. Kebijakan kini, Perguruan Tinggi justru ditantang oleh Negara untuk merealisasikan menara air. Misalnya mahasiswa diperbolehkan untuk belajar di luar kampus bahkan dihargai setara beberapa SKS jika melakukan praktik kerja, membangun desa, mengajar di sekolah bahkan menjadi relawan kemanusiaan. Artinya akademisi di kampus memang harus membongkar cara berpikir tradisional dan langsung bergumul dengan masyarakat, menjadi agen intelektual yang dapat menawarkan kebaruan-kebaruan dengan konsepsi yang lebih terbuka. Paradigma kampus yang masih mengutamakan birokrasi harus mulai dipangkas. Komunitas-komunitas literasi, masyarakat dan kemanusiaan yang selama ini terlibat di masyarakat harus diundang  dan diberikan mimbar akademik seluasnya.

Masyarakat umum yang haus ilmu pengetahuan harus diakomodir oleh kampus dengan melaksanakan diskusi-diskusi, bedah buku dan konser-konser intelektual secara berkesinambungan sehingga kampus tidak lagi dianggap eksklusif yang hanya menawarkan jasa keilmuan semata dan mengabaikan problematika masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar