Sabtu, 11 September 2021

Milenial dan Regenerasi Literasi (Digital)

Firman Hadiansyah

(Pengampu MK Pembelajaran Literasi, PBSI, FKIP, Untirta)

Setiap generasi membawa kebudayaannya sendiri, kebudayaan yang berusaha terbedakan dengan budaya induknya. Kita menyebutnya sebagai subkultur. Maka pertentangan, pergesekan, termasuk negosiasi di dalamnya, menjadi fragmen yang akan dan terus terjadi. Pada tahap ini, generasi yang mengemban kebudayaan -sub memang sengaja mendefamiliarisasi dan berusaha membuat garis demarkasi tegas, sementara generasi dominan yang stagnan dan nyaman dengan kebudayaan induk akan selalu mempromosikan keunggulan dengan mengaktivasi sejumlah bukti sehingga generasi kini harus belajar pada generasi sebelumnya. 

Kendati demikian, hal yang takdapat disangkal adalah hadirnya pergesekan antargenerasi ini sebetulnya meyakinkan bahwa sirkuit kebudayaan terus-menerus tumbuh. Jika kebudayaan ini kita asosiasikan sebagai pohon, maka ranting-ranting itulah yang kemudian kita pahami sebagai sub-kultur. Alih-alih melakukan pemberontakkan terhadap kebudayaan induk, justru subkultur hanyalah variasi lain dari kebudayaan dominan; karena pada akhirnya subkuktur itu sendiri akan berusaha tetap hidup dan ber-kembang, di mana elan vitalnya dipasok dari pohon besar bernama kebudayaan dominan.

Subkultur Milenial

Dari segi istilah, kata “sub-kultur” merupakan pembeda dari budaya dominan. Subkultur berada di tepian dari induk kulturnya yang berposisi di pusat. Istilah –sub memiliki jarak, sehingga subkultur sering dirujuk pada bentuk perbedaan dari kebudayaan pada umumnya. Bahkan pada predikat lain, anggota subkultur dianggap sebagai orang-orang yang menyimpang. Hal tersebut terlihat dari beberapa penelitian mengenai komunitas Skinhead, Teddy Boys, Punk, Holigan, geng motor, yang dianggap sebagai komunitas “menyimpang” oleh budaya dominan.

Perkembangan penelitian subkultur berkembang pula pada aspek-aspek formasi kaum muda yang lebih diterima masyarakat umum, misalnya penelitian  etnografis Roger Grimshaw yang berjudul “Perkemahan Pramuka Taman Hijau” dan kemudian pada institusi dan relasi yang lebih sentral misalnya tentang transisi anak laki-laki dan gadis kelas pekerja dari sekolah ke kerja; karya tentang pekerja kasar muda; serta pekerjaan domestik dan upah para perempuan. Secara menyeluruh, hal ini telah mentransformasi  perhatian sebelumnya yang lebih bersifat ‘subkultur’ (Hall, 1980). 

 Namun demikian, pertanyaan mengenai batasan subkultur dengan masyarakatnya terus menjadi perdebatan yang tiada akhir. Perdebatan tersebut dipertanyakan oleh Barker (2000) yang berusaha menjelaskan posisi subkultur dengan masyarakatnya. Ia mengatakan bahwa studi subkultur adalah upaya untuk memetakan dunia sosial dan dengan demikian terjadi latihan untuk merepresentasikan sesuatu yang kemudian bisa digambarkan dalam dunia sosial atau menerjemahkannya ke dalam sosiologi (atau kajian budaya atau salah satu disiplin ilmu lainnya) tanpa harus terjebak dalam proses konstruksi.

Pernyataan Barker mengenai subkultur lebih dikerucutkan oleh Brake (2003: 24) yang menyatakan bahwa subkultur berguna di bidang penyimpangan kolektif dan memberikan fungsi tertentu kepada kaum muda. Potensi penyimpangan kolektif anak muda ini pun menjadi titik tekan bagi Hodkinson (2007: 8) dalam meneliti karena pada periode ini nilai-nilai identitas kolektif dan gaya hidup tersebut melekat pada periode yang cukup lama.

Pada kutipan di atas, bisa dimaknai bahwa kehadiran studi subkultur merupakan upaya yang dilakukan untuk melihat fenomena yang ada di masyarakat sehingga lapisan-lapisan yang ada di masyarakat bisa terpetakan dan hal ini sangat berguna untuk pengembangan disiplin ilmu lainnya terutama dalam memosisikan anak muda sebagai bagian subkultur dari budaya dominan yang ada di masyarakat.

Paul Mannheim (1927) mengenalkan teori generasi melalui sebuah esai berjudul “The Problem of Generation” yang memprediksi bahwa manusia-manusia di dunia ini akan memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio sejarah yang sama. Cikal bakal inilah yang kemudian dikelompokkan oleh para sosiolog ke dalam beberapa istilah seperti generasi era depresi, generasi baby boomer, generasi x, generasi Y, generasi Z hingga generasi Alpha.

Hari ini kita hidup di generasi milenial atau dikenal juga dengan generasi Y. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh editor majalah di Amerika Serikat pada tahun 1993.  Armour (2008) menjelaskan bahwa tidak ada konsensus mengenai tanggal lahir yang tepat menentukan Gen Y, juga dikenal oleh beberapa orang dengan istilah echo boomer dan millennium. Tetapi definisi terluas umumnya mencakup lebih dari 70 juta orang Amerika yang lahir tahun 1977 hingga 2002. Generasi X lahir kira-kira tahun 1965 hingga 1976. 

Referensi lain mengemukakan bahwa kelahiran generasi milenial dimulai pada awal tahun 1980 hingga tahun 2000. Disebut sebagai generasi milenial karena generasi ini hidup di pergantian ke-2 milenium dan secara bersamaan, di era ini mulai muncul teknologi digital. Konsekuensi ini, jika merujuk cara berpikir Paul  Mannheim, maka generasi ini memiliki referensi historis dan sosiologis yang sama dan pada akhirnya membentuk serta mempengaruhi cara bertindak yang autentik dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Ciri generasi Y ditandai dengan karakteristik connected, multitasker, tech-savvy, collaborator/cocreator, social, adventurer, transparent, work-life balance.

Literasi Digital

Pada generasi sebelumnya istilah fashion, food, fun (3F) menjadi trend setter. Ketiga hal ini dianggap sebagai parameter pencapaian konsumerisme anak muda untuk memperlihatkan identitasnya. Pada generasi Y, dalam konteks yang lebih sosial media, kemudian bertransformasi menjadi friends, fans dan followers. Pergeseran ini memperlihatkan bahwa generasi Y sudah memiliki habitat yang lebih intens dan mendapatkan kemerdekaannya di dunia maya.  

Asumsi di atas diperkuat oleh hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 bahwa 143,26 juta masyarakat Indonesia sudah mengakses internet dengan perincian sebagai berikut. Usia 13-18 tahun 16,68%, usia 19-34 tahun 49,52%, usia 35-54 tahun 29,55%, dan di atas 54 tahun 4,24%. Dari data tersebut membuktikan bahwa mayoritas pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi Y yang penggunaannya sebagian besar dipakai untuk mengakses media sosial dan kanal visual seperti youtube, tiktok dan Netflix. 

Paul Gilster (1980) mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari berbagai sumber ketika disajikan melalui komputer dan, khususnya, melalui media Internet. Dia menekankan apa yang dilihat sebagai perbedaan yang melekat antara media informasi digital dan media cetak konvensional. Literasi digital melibatkan menyesuaikan keterampilan dengan media baru yang menggugah, [dan] pengalaman di Internet akan ditentukan oleh bagaimana kita menguasai kompetensi intinya. Kompetensi ini tidak hanya sekadar mengoperasikan secara teknis namun literasi digital melibatkan penguasaan ide, bukan penekanan tombol semata. Gilster mengidentifikasi empat kompetensi literasi digital utama: perakitan pengetahuan, mengevaluasi konten informasi, mencari di Internet, dan navigasi hypertext. Literasi dalam konteks ini adalah keterampilan untuk dapat mengakses dan memanfaatkan teknologi dengan bijak.

Lalu bagaimana dengan literasi konvensional seperti buku? Bagaimana masa depannya? Jauh sebelum Johann Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1455, manusia telah menulis dalam bentuk pictogram dan melalui evolusi yang panjang kita mengenalnya kini sebagai tulisan latin. Sebelum 1455, manusia menulis di dinding gua, lempengan batu dan lempung, papyrus, kulit binatang, kertas daluang (terbuat dari serat tanaman) hingga daun lontar. Revolusi peradaban itu muncul ketika Gutenber menemukan mesin cetak. Kendati ia sendiri tidak menikmati glorifikasi atas temuannya itu karena bangkrut, umat manusia berratus tahun lamanya menikmati temuannya hingga kini. Lalu ketika di era digital sekarang apakah buku konvensional ala Gutenberg itu akan hilang dan beralih ke buku elektronik?

Karakteristik membaca di internet sangat berbeda dengan membaca buku pada umumnya. Istilah “berselancar” membuktikan bahwa masyarakat mengakses internet tidak untuk “menyelam” dan mendalami. Umumnya pengakses berada di permukaan untuk mendapatkan informasi yang instan, sehingga buku konvensional masih dianggap sebagai momentum yang menyenangkan bagi para penikmat bacaan. Masa kini adalah masa transisi. Dalam hal ini, perlu waktu setidaknya 20-30 tahun untuk dapat menggantikan buku konvensional, bahkan mungkin lebih lama. Hal ini tidak bisa disamakan dengan terpuruknya koran-koran yang gulung tikar dan  beralih ke digital.

Namun demikian, pada masa transisi ini, buku elektronik memang menjadi sebuah kisah baru yang menggantikan para pembaca yang kesulitan mencari buku konvensional di perpustakaan. 

Proyek Gutenberg yang bisa diakses di guttenberg.org adalah proyek buku elektronik pertama di dunia yang berdiri pada tahun 1971 oleh  Michael S. Hart.  Buku tersebut tersedia dalam bentuk HTML, PDF, EPUB, MOBI dan Flucker. Kini PG sudah memiliki lebih dari 60 ribu buku yang bisa diakses secara gratis. Di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, buku elektronik baik legal ataupun tidak, sudah menjadi konsumsi para akademisi dan cendekia. Perpustakaan Nasional memiliki ribuan buku koleksi yang bisa diakses, begitupun perpustakaan daerah, perpustakaan universitas, bahkan perpustakaan sekolah. Dengan semangat e-resource, buku ini menjadi resource sharing, sebagai salah satu karakteristik generasi Y. Artinya, jika mengamati pola perkembangan buku elektronik, problematika yang dihadapi hari ini bukan lagi menghadapi isu “minat membaca” namun bagaimana 143,26 juta masyarakat Indonesia yang sudah mengakses internet dan sebagian besarnya adalah generasi Y memiliki hasrat untuk membaca buku sehingga termanifestasi menjadi sebuah subkultur baru. 



Referensi

Adam, Aulia. 2017. “Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang Generasi Z” https://tirto.id/selamat-tinggal-generasi-milenial-selamat-datang-generasi-z-cnzX  diakses 20 Juni 2021 pukul 22.30.

Armour, Stephanie (6 November 2008). "Generation Y: They've arrived at work with a new attitude". USA Today. Diakses tanggal 20 Juni 2021. Pukul 23.16.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage Publications.

Brake, Michael. 2003.  Comparative Youth Culture The Sociology of Youth Culture and Youth Subcultures in America, Britain and Canada. New York: Routledge.  

Gilster, Paul. 1998. Digital Literacy. John Willey &Sons. 1st Edition

Hall, Stuart, Doroty Hobson, Andrew Lowe, Paul Willis (ed). 1980. Culture, Media, Langueage. London and New York: Routledge.

Hodkinson, Paul. 2007. “Youth Cultures: A Critical outline of Key Debates.” Dalam Youth Cultures Scenes, Subcultures and Tribes. Editor Paul Hodkinson dan Wolfgang Deicke. New York: Routledge.

Mannheim, Karl. 1927. “The Problem of Generations” http://marcuse.faculty.history.ucsb.edu/classes/201/articles/27MannheimGenerations.pdf diakses 20  Juni 2021 pukul 23.30.

Yuswohadi. 2016. “Millenial Trends 2016” https://www.yuswohady.com/2016/01/17/millennial-trends-2016/ diakses 20 Juni 2021 pukul 23.00.



PERGURUAN TINGGI DAN MENARA AIR


Peresmian gedung Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) kampus Sindangsari yang baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo disambut kebahagiaan oleh sivitas akademik dan masyarakat Banten secara umum. Kehadiran Presiden menjadi simbol sekaligus pengakuan bagi institusi kampus yang terus memperbaiki kualitas. Terobosan-terobosan konsep, segala prestasi baik oleh mahasiswa dan dosen, termasuk tenaga kependidikan di dalamnya, ternyata sampai ke telinga pemegang kebijakan di negeri ini. Tentu ini patut disyukuri. Untirta sudah mulai menjadi kampus yang laik diperhitungkan sebagai kampus besar dan bermartabat. Kerja panjang universitas dengan segala problematikanya memang belum tuntas dan mungkin takakan pernah tuntas. Namun, setidaknya, dalam perjalanan institusi ini, berhenti sejenak pada momen-momen historis semacam ini penting untuk disikapi. Bukan hanya menjadi senandung perayaan; juga menjadi ruang kontemplatif.

Hijrah Intelektual

Pada peresmian tersebut, Presiden Jokowi memberikan sambutan yang singkat namun cukup bermakna dan dapat menjadi perbincangan panjang. Sambutan Presiden tidak hanya tertuju pada Untirta, tetapi menjadi konsentrasi bersama bagi insan Perguruan Tinggi/ akademisi di Indonesia. Pertama, ia menggarisbawahi keteladanan dari Sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh Nawawi al-Bantani, simbol perpaduan kekuatan ulama dan umaro yang mewakili  karakter kepemimpinan dan intelektual. Perguruan tinggi harus menjadi pusat pengembangan keilmuan dan pusat kaderisasi kepemimpinan nasional. Kedua, Untirta harus berperan sebagai lokomotif kemajuan di Provinsi Banten dengan tetap bersikap moderat, menghargai kemajemukan dan kebinekaan. Ketiga, Perguruan Tinggi tidak di menara gading, tapi harus memfungsikan diri sebagai menara air, di mana hasil penelitian kampus harus langsung dirasakan oleh masyarakat.

Dari ketiga hal itu, hal yang paling menarik dari obrolan warung kopi dosen dan mahasiswa di kampus tertuju pada dikotomi antara “menara gading” dan “menara air”. Sudah menjadi persepsi umum bahwa akademisi hari ini seperti berada di menara gading, menjadi masyarakat eksklusif, sulit terjangkau masyarakat pasar, dan memiliki predikat sebagai brain trust adiluhung. Anggapan semacam ini tentu bisa menjadi kekhawatiran bersama bahkan bisa menjadi bagian dari pengkultusan yang naif. Maka ketika Presiden melontarkan ini di dalam sambutannya, ia menjadi representasi Negara untuk merekatkan bahkan mentransformasikan dikotomi yang ada itu. Di sisi lain, akademisi yang berada di Perguruan Tinggi itu juga penting untuk mawas diri sehingga pengalaman literernya perlu untuk disubstitusikan kepada publik yang lebih luas. 

 Jika menelusuri kembali makna akademik pada relnya, seperti yang ditulis oleh Mahbub Setiawan, bahwa akademik adalah kata yang mencerminkan kebebasan, kejujuran, transparansi yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Maka sejatinya tidak ada istilah berbau akademis, terlalu akademis atau sebutan lain yang seolah-olah mencerminkan keadaan yang terisolasi dari realitas publik.

Akademik adalah sebutan sebuah kawasan terbuka bagi siapapun masyarakat yang dapat melontarkan gagasan apapun secara terbuka/ inklusif. Ia tidak direduksi oleh latar balakang kelas masyarakat atau kepentingan-kepentingan pragmatis. 

Potensi ini juga sempat dipresentasikan oleh pemikir seperti Antonio Gramsci yang memilah antara intelektual tradisional dan intelektual organik. Cara berpikir Gramscian, jika dikaitkan dengan pesan Presiden, maka intelektual tradisional inilah yang dianggap sebagai menara gading, sementara intelektual organik diposisikan sebagai menara air yang dengan kapasitasnya dapat menjawab kebutuhan dari kebuntuan problematika publik sehingga dapat terlibat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di lingkungan masyarakat. 

Dua kondisi ini memang terjadi di institusi akademik dan menjadi persinggungan yang alamiah. Penyebabnya adalah akademisi disibukkan dengan kegiatan pengajaran dan penelitian sehingga kodrat lainnya untuk melakukan pengabdian pada masyarakat, yang jelas-jelas menjadi ruh Tridarma Perguruan Tinggi, sering keteteran dan masih dianggap sunah dengan tenaga penghabisan di luar pengajaran dan penelitian. Pengabdian pada masyarakat dianggap telah terjadi ketika mahasiswa melakukan KKM selama satu bulan dan dosen cukup datang di awal dan akhir kegiatan. 

Jika ada akademisi yang memiliki konsentrasi pada problematika sosial di masyarakat dan melakukan advokasi yang bertumpu pada ilmu yang dimilikinya, malah menjadi isu yang tidak menyenangkan di internal kampus. “Anda itu dosen, bukan LSM, maka bertindaklah seperti dosen pada umumnya.” Cara pandang semacam ini tentu berkebalikan dengan pesan Presiden yang menginginkan Perguruan Tinggi menjadi menara air. Maka momentum ini seyogianya dapat menjadi hijrah intelektual bagi masyarakat kampus untuk kembali memfungsikan dirinya dalam mengadvokasi dan menjawab kebutuhan publik. Penelitian-penelitian yang dilakukan harus didesiminasi dan tidak berakhir pada jurnal-jurnal ilmiah yang sebetulnya hanya diakses oleh akademisi itu sendiri dengan saling kutip satu sama lain untuk menambah kredit kenaikan pangkat.

Belajar Merdeka melalui Kampus Merdeka

Menara air yang dimaksud Presiden sebetulnya sudah diikhtiarkan oleh Dirjen Dikti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan mengusung Program Kampus Merdeka. Kebijakan kini, Perguruan Tinggi justru ditantang oleh Negara untuk merealisasikan menara air. Misalnya mahasiswa diperbolehkan untuk belajar di luar kampus bahkan dihargai setara beberapa SKS jika melakukan praktik kerja, membangun desa, mengajar di sekolah bahkan menjadi relawan kemanusiaan. Artinya akademisi di kampus memang harus membongkar cara berpikir tradisional dan langsung bergumul dengan masyarakat, menjadi agen intelektual yang dapat menawarkan kebaruan-kebaruan dengan konsepsi yang lebih terbuka. Paradigma kampus yang masih mengutamakan birokrasi harus mulai dipangkas. Komunitas-komunitas literasi, masyarakat dan kemanusiaan yang selama ini terlibat di masyarakat harus diundang  dan diberikan mimbar akademik seluasnya.

Masyarakat umum yang haus ilmu pengetahuan harus diakomodir oleh kampus dengan melaksanakan diskusi-diskusi, bedah buku dan konser-konser intelektual secara berkesinambungan sehingga kampus tidak lagi dianggap eksklusif yang hanya menawarkan jasa keilmuan semata dan mengabaikan problematika masyarakatnya.