Minggu, 30 Desember 2012

Puisi Multimedia dan Apresiasi Puisi*)





Oleh Firman Venayaksa

Sebelum menjelaskan perihal pembelajaran sastra kita di sekolah, saya kembali teringat pada sebuah film “Dead Poets Society” yang dirilis pada tahun 1989. Film ini menceritakan tentang seorang guru sastra (diperankan oleh Robin Williams) yang cukup progresif, atarktif dan unik. Cara mengajarnya yang melawan hegemoni konvensional itu membekas di mata para siswanya. Melalui puisi, para siswa itu diajarkan untuk mencicipi kebebasan melalui puisi setelah sekian lama terkerangkeng oleh prinsip-prinsip akademik yang kaku. Namun tak demikian dengan lembaga sekolah yang mengusung prinsip ortodoks. Cara mengajarnya “yang aneh” membuat sang guru itu terpaksa harus angkat kaki dari sekolah.
Film ini mengingatkan kembali pada realitas pembelajaran sastra di sekolah-sekolah kita hari ini. Seorang guru tidak boleh “nyeni.” Ia harus berpakaian kemeja dan kain katun, mengajarkan tata krama, dan berjarak dengan para siswa agar timbul penghormatan. Kebekuan karakter ini yang kemudian menjalar pada tata cara mengajarkan puisi di sekolah. Puisi tak ubahnya ilmu pasti, yang harus jelas dan terukur, mampu untuk memberikan pencerahan layaknya kitab suci. Hal ini jelas bertentangan dengan puisi sebagai bagian dari ranah kesenian dan sangat interpretatif. Puisi tidaklah kaku dan terus berubah seiring perubahan zaman dan guru sebagai ujung tombak pembelajaran sastra di sekolah, idealnya mengikuti sesuai dengan ilmu yang dianutnya. Film “Dead Poets Society” juga mengajarkan kepada kita bahwa tak selamanya puisi sebagai salah satu jenis sastra bisa diterima oleh khalayak.

Puisi dan Institusi Sekolah
Horatius, seorang filosof pada zaman masa lampau dan sering dikutip oleh para seniman hingga masa kini, menegaskan bahwa seniman bertugas untuk decore dan delectare, memberikan ajaran dan kenikmatan. Dua kategori ini menjadi bagian yang sangat penting untuk memulai tema ini. Jika kita sepakat dengan pendapat Horatius, maka sudah sewajarnya nilai ajar (pendidikan) dan kenikmatan (hiburan) menjadi dua hal yang seyogyanya terus beriringan. Bahkan Horatius menambahkan dengan istilah movere, menggerakan penikmat seni ke arah kegiatan yang bertanggungjawab. Selain itu seni juga harus menggabungkan sifat utile dan dulce; bermanfaat dan manis. Dari sinilah letak awal keterkaitan antara seni (termasuk puisi) dan dunia pendidikan.
Puisi hadir dalam institusi sekolah terintegrasi dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Artinya, guru Bahasa dan Sastra Indonesia tidak sekadar mengajarkan puisi. Ia juga harus mengajarkan bahasa. Dengan demikian, porsi pembelajaran puisi memang sangat kecil. Apa lagi puisi harus dicacah dengan aliran sastra lain seperti prosa fiksi dan drama.
Hal ini diperparah dengan fenomena sang guru yang kadang enggan untuk menjelajahi dan mengakses puisi-puisi yang berkembang cukup cepat, sehingga yang diajarkan oleh guru kembali pada puisi-puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah atau Taufiq Ismail. Kecenderungan ini mengakibatkan tidak teraksesnya puisi-puisi dari para penyair kekinian. Sebetulnya konsep majalah Horison—sebagai sebuah contoh-- dengan mendatangkan para sastrawan ke sekolah-sekolah sudah cukup baik. Setidaknya kejadian tersebut sedikit banyak mengubah paradigma siswa (sekaligus guru) yang hanya mengenal sastrawan berdasarkan teks yang dikenalkan guru di sekolah. Namun dengan pendanaan yang terbatas dan kemampuan pihak Horison yang juga berbatas, mengakibatkan project semacam ini terpaksa terhenti.
Ataukah keengganaan guru untuk mencari puisi-puisi terbebani dengan persoalan kurikulum dengan segala macam standar kompetensi yang harus dikejarnya? Berikut adalah standar kompetensi (KTSP) dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
1.    Sebagai sarana peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa
2.    Sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya
3.    Sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengambangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4.    Sebagai sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan
5.    Sebagai sarana pengembangan penalaran; dan
6.    Sebagai sarana keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khasanah sastra Indonesia.

Jika kita membaca standar kompetensi di atas, beban kerja guru Bahasa dan Sastra Indonesia memang sangat berat. Selain harus menjelaskan perihal ilmu tentang bahasa dan sastra; mereka juga dibebani dengan berbagai peningkatan-peningkatan yang muluk dan terkesan hanya berhenti di ranah slogan semata. Selain itu, tuntutan guru Bahasa dan Sastra Indonesia jauh lebih berat karena ada urusan dengan Ujian Nasional yang sering menjadi hantu pendidikan. Fakta inilah yang kemudian berimplikasi pada proses pembelajaran yang hanya mengejar wilayah kognitif. Banyak guru yang terjebak dengan urusan “yang penting lulus” sehingga melupakan sisi psikomotorik; wiayah-wilayah yang jauh lebih ekspresif dan estetik.
Namun lain halnya jika kita melihat dalam kacamata siswa. Dibandingkan dengan mata pelajaran lain di sekolah, pelajaran sastra memiliki potensi untuk lebih digandrungi dibandingkan dengan mata pelajaran lain karena sastra (puisi) secara konsep tidak hanya berhenti pada ilmu pengetahuan (science) tapi juga seni (art). Hal ini yang tak boleh dilupakan oleh guru dalam proses pembelajarannya. Atas dasar ini maka tugas guru bukan hanya selesai pada urusan mentransfer ilmu-ilmu sastra baik teori maupun sejarah kesusastraan; tapi ia juga pengajar seni.
Pernyataan ini diperkuat oleh Anwar (2011: 121) yang menyatakan bahwa meskipun kurikulum berganti-ganti, secara teoretis tujuan pembelajaran sastra pada dasarnya meliputi dua hal pokok: pengetahuan sastra dan pengalaman bersastra. Tujuan pertama mengacu pada perolehan wawasan mengenai segi-segi pengetahuan (sejarah dan unsur-unsur sastra misalnya) dan tujuan kedua mengacu pada pemerolehan pengalaman langsung bersastra (membaca, menulis, menggelarkan karya sastra misalnya). Problematika yang dihadapi guru dalam pembelajaran di sekolah lebih merujuk pada hal pokok kedua karena kurangnya kreatifitas guru. Berbeda dengan pokok pertama yang lebih menekankan pada wilayah keilmuan, pokok kedua sangat bergantung pada kemampuan guru untuk merangsang siswa dengan membuat media alternatif pembelajaran puisi sehingga dengan cara semacam ini, pembelajaran puisi tidak membosankan.

Puisi Multimedia
Menelisik perkembangan puisi dari zaman ke zaman, kita akan menemukan pelbagai mozaik yang menjadi penanda zaman. Mulai dari bentuk puisi hingga estetika dan daya ungkap bisa kita telusuri. Perubahan-perubahan tersebut bisa terjadi karena perkembangan sosial-politik, kontak kebudayaan bahkan ada kaitannya dengan teknologi.
Pada awal tahun 2000, ketika para sastrawan memanfaatkan teknologi internet dan dibukanya situs www.cybersastra.net muncullah beragam kontak dialogis yang cukup meriah. Perdebatan begitu sengit terjadi. Istilah-sitilah seperti “sastra sampah” atau “sastra alternatif” menjadi dikenal publik sastra. Di antara perdebatan yang mengemuka itu, ada satu hal yang menurut saya menjadi semacam keywords yaitu akses. Ketika keran akses dibuka, sekarang ini kita begitu mudah untuk melacak puisi-puisi di dunia maya. Perkembangan puisi tidak lagi terfokus pada perayaan rubrik sastra seminggu sekali di media massa. Kini puisi bisa dirayakan oleh siapapun dengan kemungkinan estetika sebebas apapun. Dalam hal ini, media memiliki peranan penting dalam menyebarluaskan puisi.
Sekaitan dengan hal tersebut, maka puisi sebagai salah satu jenis aliran seni sudah sewajarnya “berdialog” dengan jenis seni lainnya seperti musik, teater atau film. Puisi tidak saja bisa dinikmati dengan gaya ortodoks seperti membaca teks, tetapi bisa juga diapresiasi dengan audio-visual. Atas “negosiasi” antara puisi dengan aliran seni lain, maka istilah-istilah pun berkembang seperti musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, filmisasi puisi, puisi multimedia dan seterusnya. Esensi dari “negosiasi” tersebut sebetulnya ingin menciptakan ruang saji yang berbeda dari biasanya. Proses memadukan ini tidak terlepas dari kesadaran penyair agar bisa meraup apresiator sebanyak mungkin dan yang paling penting adalah menumbuhkan ruang alternatif dalam mengekspresikan karya-karyanya.

Belajar dari Puisi Multimedia Asrizal Nur
Pada perhelatan pertemuan-pertemuan penyair yang di dalamnya sering menggelar acara apresiasi berupa pembacaan karya dari para penyair; setidaknya ada tiga jenis penyair yang merespons. Pertama, penyair yang “rindu panggung.” Ia akan sangat siap jika diminta untuk membacakan puisi. Selain ia sudah terbiasa, ia piawai melakukan aksi yang demonstratif. Kedua, ia tak memiliki kemampuan membaca puisi yang baik. Dengan penuh keterpaksaan, ia lantas memaksakan diri. Ketiga, adalah penyair yang memang tak bisa membaca puisi dengan baik dan ia memilih membaca biasa saja.
Konsep pembacaan di panggung tentu berbeda dengan pembacaan biasa yang tidak ditonton oleh khalayak. Ketidaksiapan penyair (apalagi yang tidak memiliki background pemanggungan) akan terlihat seadanya sehingga tak menemukan kesan. Ketika puisi dibacakan, seperti yang diungkapkan oleh Toto ST Radik, sebetulnya puisi menjadi tunduk pada hukum-hukum panggung. Tempat pemanggungan, musik, lighting bahkan bisa jadi urusan durasi memiliki posisi yang juga penting bersanding dengan puisi sebagai teks yang menjiwai pementasan.
Asrizal Nur adalah salah satu penyair yang bisa dengan piawai mengkomunikasikan puisi yang berupa teks untuk dipanggungkan. Tak semua penyair bisa memadukannya. Berbekal keapikan memilih tema dalam puisi-puisinya, ditambah dengan predikatnya sebagai deklamator yang sering memenangkan lomba-lomba pembacaan puisi bergengsi di Tanah Air, Asrizal Nur kerap kali menghipnotis para penonton dengan konsep Puisi Multimedia.
Konser Puisi Multimedia yang dikenalkan oleh Asrizal Nur pada tahun 2009 di Taman Ismail Marzuki menyedot perhatian publik dengan ditonton tak kurang oleh 800 orang. Konser tersebut dibantu oleh Dindon Ws (penata laku), Yasier Arafat (live music), Dika dan Adi (penata musik program), Eeng Koti (penata tari), Dody (penata video), M. Aidil Usman (penata cahaya), dan Joko Mulyadi (penata panggung). Kini konser puisi multimedia tersebut bisa didapatkan oleh apresiator melalui DVD.
Puisi multimedia yang dimaksud disini adalah sejumlah perangkat teknologi yang menjadi pendukung pembacaan puisi. Perangkat teknologi tersebut diramu; mulai dari musik hingga klip (animasi) dan dikompres dalam bentuk CD. Asrizal Nur harus menyesuaikan antara pembacaan puisi dengan video klip yang diputar dan diperbesar di layar lebar sehingga bisa ditonton secara luas. Proses semacam ini jelas membutuhkan latihan yang sangat intens. Pembaca puisi harus belajar dalam hitungan detik untuk menyesuaikan dengan irama dan ruh dari puisi itu sendiri. Sebagai ilustrasi, kita bisa belajar dari puisi multimedia berjudul “Kuda” yang berdurasi 1 menit 50 detik. Secara visual, klip “Kuda” hanya memerlihatkan sekumpulan kuda yang sedang berlari kencang yang dibantu dengan audio berupa suara derapan kuda yang terus menerus menghentak mengikuti pembacaan puisi yang dilakukan oleh penyairnya. Keberhasilan dari sesi ini adalah terjalinnya suasana antara media pendukung dan pembacaannya.
Saya membayangkan jika proses puisi multimedia yang diciptakan oleh Asrizal Nur bisa diadaptasi dan dikembangkan dalam proses pembelajaran apresiasi puisi di sekolah-sekolah. Secara kuantitas, siswa di kelas cukup banyak dan ini adalah modal utama dalam berkolaborasi. Tinggal proses pembuatan puisi multimedia lebih disederhanakan dan disesuaikan dengan kemampuan sekolah dengan memanfaatkan perangkat yang ada. klip bisa dibuat berdasarkan foto-foto yang diambil melalui perangkat handphone misalnya lalu ditayangkan melalui infokus yang disesuaikan dengan kebutuhan puisi yang telah dipilih oleh siswa. Untuk audio, siswa bisa merekam dari hasil ciptaan sendiri atau memanfaatkan ilustrasi musik instrumental. Yang paling penting dari semua itu adalah proses berkolaborasi sehingga tercipta suasana kolektif yang menyenangkan.

  
*) Kertas kerja ini disampikan pada perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi 30 Desember 2012