Jumat, 02 Mei 2014

PENDIDIKAN ITU (DI ANTARA SIPIL DAN MILITER)


Bapak saya tentara, ibu saya seorang guru SD. Saya dibesarkan dari dua kutub yang bertolakbelakang. Ini adalah foto repro tahun 1982, ketika Bapak hendak tugas ke Timor Timur. Sejak kecil, saya sering ditinggalkan Bapak karena tugasnya sebagai tentara Angkatan Darat (dulu ABRI). Maka, hari-hari di masa kecil saya lebih banyak bergumul dengan Mama.

Di usia pernikahan mereka yang masih baru, sebagaimana dituturkan oleh Mama, kami pindah dari kontarakan satu ke kontarakan yang lain. Seperti lazimnya tentara, sebetulnya Bapak diberikan jatah untuk mendapatkan rumah dinas di Yonif 327 Brajawijaya Cianjur, tetapi Mama menolaknya. Mama lebih memilih di luar kesatuan, ingin mandiri dari hiruk pikuk kemiliteran. Ketika Bapak pergi ke Timor atau ke tempat-tempat operasi militer pada zaman Orba, praktis hanya Mama yang membesarkan saya. Jika Mama mengajar, tiap hari ia membawa saya ke kelas. Bayi kecil bernama Firman itu diletakkan di meja, sementara Mama mengajar. Untung kata Mama, saya bayi yang baik dan tidak rewel J

Saking seringnya Bapak bertugas berbulan-bulan, kata Mama, saya sempat tidak kenal dengan Bapak. Dan Bapak memang dingin. Berbeda dengan Mama yang sering bercerita apapun. Walaupun begitu, setiap pulang dari tugas, Bapak sering membelikan saya mainan. Sentuhan mainan seperti robot-robotan atau mobil-mobilan itulah yang membuat saya merasa bahwa Bapak sangat baik.

Pada tahun 1986, Bapak ditugaskan ke KODIM 0603 Lebak Banten. Umur saya 6 tahun. Saya punya adik bayi yang diberi nama Anita. Kami kemudian pindah ke Lebak, ngontrak di Kampung Kolelet Wetan, perbatasan dengan Bendungan Pamarayan. Di kampung itu belum ada listrik. Jalanan masih hancur. Angkutan kota hanya sesekali lewat. Jikapun lewat, anak-anak kecil pasti mengejar-ngejar di belakang angkot. Pada umur itulah saya ikut Sekolah Dasar di tempat mama mengajar. Saya senang diajar Mama di sekolah, tapi Mama hanya mengajar sebentar. Mungkin karena takut subjektif, Mama akhirnya pindah mengajar di kelas lain.

Berbeda dengan dulu ketika masih di Yonif 327, kini Bapak punya waktu luang. Saya sering diajak ke Kodim jika gajian naik motor Honda 80.  Bahkan saya pernah diajak serta ketika Bapak dapat tugas piket malam hari. Bapak berjaga-jaga di depan, saya tertidur di kamar kecil di sudut ruangan Makodim. Walaupun begitu, tetap saja gayanya dingin dan kadang-kadang galak.

Di Kampung Kolelet Wetan dilintasi oleh sungai Ciujung. Sungai itu adalah tempat bermain yang menyenangkan bagi saya dan teman-teman. Naasnya, pernah suatu ketika, saya berenang. Waktu itu saya tidak tahu jika pada waktu-waktu tertentu, bendungan sungai Pamarayan di buka. Jika bendungan dibuka, maka arus sungai akan sangat cepat. Ketika berenang, sayapun tersedot arus itu. Saya jago renang, tapi tubuh kecil saya tak sanggup menahan arus yang sangat kuat. Sayapun terbawa arus. Warga di sekitar teriak-teriak memanggil saya, “anak saha eta paliid…” kata orang-orang di tepian. Cukup lama saya terbawa arus, hingga akhirnya ada seseorang yang menarik saya dan sayapun terselamatkan.

Belum juga sya pulih dari kekagetan, agak sedikit jauh dari pandangan saya, Bapak datang membawa kayu kecil dan menghampiri. “Plaaak…” kayu itu membekas di tubuh. Saya digiring oleh Bapak dari sungai. Sesampai di rumahsaya  dimasukkan ke kamar kosong, diikat tangan saya ke belakang dan pintu ditutup dari luar. Saya menangis sejadi-jadinya. Sambil menangis, terjadi percekcokan di luar. Rupanya mama protes dengan apa yang dilakukan bapak, tetapi bapak tetap pada keputusannya. Sehari kemudian, barulah saya “dilepaskan”. Saya benar-benar trauma waktu itu, walaupun Mama menjelaskan pada saya, itu cara Bapak agar saya tidak nakal dan sering main di sungai. Bapak takut kehilangan saya, anak laki-laki satu-satunya.

Bapak memang menaruh harapan besar kepada saya agar kelak saya bisa jadi tentara. Namun, saya tidak suka dengan olah raga dan urusan-urusan fisik. Saya lebih senang membaca buku, bernyanyi dan bermusik. Saya tidak tahu kenapa. Ketika Bapak pindah tugas ke Warunggunung, waktu itu saya kelas 3 SD. Sekolah saya pun pindah ke SD 2 Selaraja bersama Mama. Walaupun seperti biasa, mama tidak mau mengajar di kelas dimana saya ada disitu. Waktu kelas 3, bakat saya mulai muncul. Saya ikut lomba-lomba menyanyi dan selalu juara pertama. Saya senang menyanyi pupuh sunda. Mama sering mengajarkannya. Bahkan di Koramil, ketika ibu-ibu Persit latihan degung, saya pasti terlibat, setidaknya untuk pegang gong dan kendang.
Di kelas, saya selalu mendapatkan rangking pertama. Saya tidak tahu apa yang mengakibatkan saya harus pindah sekolah. Tapi Bapak sepertinya lebih mengarahkan agar saya suka olah raga. Akhirnya saya dipindahkan dari SD 2 Selaraja ke SD 3 Ipor Selaraja. Sekolah SD 3 Ipor adalah sekolah yang berkumpulnya siswa-siswa yang senang berolah raga. Dan saya mati kutu di sekolah itu. Saya tidak suka olah raga! Untungnya ada seorang guru yang tahu saya bisa bernyanyi. Akhirnya saya mengukir sejarah di sekolah itu, laki-laki pertama yang menjuarai menyanyi. Walau mama bahagia, sepertinya Bapak tidak suka.
Waktupun bergulir. Di SMP saya banyak bergaul dengan guru-guru muda yang mengajarkan saya bermusik dan buku. Saya sering dipinjami oleh Pak Rosman, guru bahasa Inggris, buku-buku Wiro Sableng walaupun harus “backstreet” karena Bapak tidak suka saya baca buku-buku “aneh” seperti itu. Menjelang lulus SMP, Bapak meminta saya agar ikut seleksi SMA Taruna di Magelang. Setiap hari saya dipaksa lari, sit up, push up dan seterusnya. Saya tidak mau mengecewakan Bapak, tapi juga saya tidak suka sekolah semacam itu. Walhasil, setelah seleksi di Kabupaten berhasil yang dilanjutkan seleksi di Bandung, saya membuat cara agar saya tidak lulus. Bapak tidak tahu kalau di Bandung saya malah datang ke bioskop daripada serius ikutan seleksi. Dan tentu saja hasilnya, gagal total!

Sayapun sekolah di SMA 1 Rangkasbitung. Jarak Warunggung-Rangkasbitung sekitar 10KM. Saya harus menempuh dua kali pakai angkot, sehingga durasi saya di rumah sangat sedikit. Baru maghrib atau bahkan malam saya pulang ke rumah. Saya menyibukkan diri dengan aktivitas di sekolah. Alih-alih agar tidak banyak dikekang dengan gaya disiplin Bapak, secara tidak langsung, saya justru memakai ilmu militeristik gaya Bapak. Hampir semua organisasi di sekolah saya ikuti, mulai dari Paskibra, Pramuka, PMR, PKS, Remaja Mesjid, Karate, OSIS, Band, Paduan suara, saya ikuti. Nyaris tiap hari Minggu saya jarang ada di sekolah. Bahkan sesekali saya malah suka tidur di sekolah. Saya bahagia berorganisasi. Waktu kelas 2, pernah hingga satu bulan penuh saya tidak masuk kelas karena berorganisasi ke luar kota. Dan sepertinya Bapak bahagia dengan aktivitas saya itu.

Di akhir SMA, bapak nampaknya masih berharap agar saya jadi tentara. Dengan NEM saya yang di atas rata-rata, Bapak meminta saya untuk daftar Akabri. Saya mulai stress. Saya bercita-cita menjadi guru seperti Mama. Untunglah, ketika melihat persyaratan, saya belum sampai pada usia yang dipersyaratkan. Dengan menjanjikan tahun depan saya akan daftar ke Akabri, Bapak mengizinkan saya untuk melanjutkan kuliah dulu di IKIP Bandung (UPI). Bapak dan Mama mengantarkan saya ke kosan di Bandung, jalan Cilimus no 07. Ketika berpisah, mama menangis dan menasehati saya, sementara Bapak tak mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya memandang saya lekat-lekat. Inilah pertama kali saya mandiri, keluar rumah. Saya cukup kaget ketika bapak tiba-tiba menyodorkan sebuah mesin tik. “Ini bapak beli dari Pak Lurah. 100 ribu. Nih, buat kamu. Katanya kalau jadi mahasiswa pasti banyak tugas ya…” Hanya itu yang bapak katakana. Bapak keluaran SMP. Bapak tidak tahu menahu dengan dunia perkuliahan. Bapak pun tidak tahu kalau waktu itu teknologi sudah beralih dari mesik ketik ke computer. Tapi saya bahagia menerimanya. Saya ingin memeluknya, tapi kami tak pernah melakukannya. Akhirnya saya memeluk mama, mewakili pelukan untuk Bapak.

Dunia kampus membuat saya bahagia. Saya menemukan banyak hal di kampus. Waktu itu, peralihan Orde Baru ke Orde reformasi. Alih-alih mendapatkan ilmu, saya lebih banyak ikut demonstrasi bersama senior saya. Di luar kampus, saya ikut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di dunia tulis menulis, saya ikut ASAS. Tulisan saya banyak dimuat di media massa. Sayapun lupa dengan janji saya kepada bapak untuk ikut seleksi Akabri. Saya jarang pulang ke kampong. Ketika pulang, dengan gaya saya yang gondrong, bapak tak berani melarang saya. Rupanya Bapak sudah pasrah dengan nasib hidup saya. Atau mungkin karena aura reformasi, bapak menjadi berubah, saya tidak tahu. Yang jelas, seperti yang diberitahu mama, Bapak kecewa kepada institusinya. Bahkan Bapak sempat adu mulut dengan Komandan Kodim (Dandim). Waktu ke Kodim, bapak memakai mobil Feroza karena motor kesayangannya mogok. Akhirnya bapak disuruh push up di depan teman-temannya.Bapak tidak terima karena merasa tidak bersalah. Di waktu luangnya, Bapak memang biasa bisnis kecil-kecilan, mulai dari jualan jeruk di pasar (ketika prajurit) hinga jualan motor dan mobil bekas. Saya tahu, itu dilakukan untuk membiayai anak-anaknya, termasuk saya yang kuliah. Waktu itu di Makodim, tak banyak yang punya anak kuliah. Bapak akhirnya mengurus pensiun walaupun belum waktunya.

Pendidikan yang paling awal, memang di rumah. Melihat ke belakang, sepertinya saya memang berada di dua kutub itu; dunia bapak yang mengajarkan saya kedisiplinan dan sentuhan ibu yang mengajarkan nilai-nilai humanis. Saya bahagia hidup di antara mereka. Selamat Hari Pendidikan.

Tanah Air, 2014