Ruangan
masih gelap dan sunyi, hanya ada suara-suara berbisik dari para pemain teater
yang menyiapkan pementasan di hari ke-2. Sebelum para penonton masuk, saya
menyelusup ke tempat pementasan. Saya cari spot paling sentral, menyiapkan
kamera dan sesekali membuka alam imaji atas kemungkinan-kemungkinan pementasan.
Ini saya lakukan untuk menebus dosa kepada UKM Teater Kafe Ide Untirta atas
keterlambatan hadir pada pementasan pertama, berjudul “Pada Suatu Hari” karya
Arifin C Noer yang disutradarai Saduri Dagul, mahasiswa Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Tak
berapa lama, para penonton yang riuh menghempaskan kesunyian di kegelapan itu.
Para mahasiswa dengan cekakak-cekikik mencari tempat duduk masing-masing. “ih,
gelap amat sih. Kayak di kampung saya sering mati listrik,” kata seseorang.
Beberapa perempuan berada di kiri kanan saya. Lalu saya iseng bertanya, “jurusan
apa, Dek?” tanyaku kepada seorang penonton sebelah kanan. “Jurusan PAUD, Kak.
Semester dua,” katanya. “Kakak?” “Saya Jurusan sastra semester delapan,” jawabku
sambil melihat sekeliling. Perempuan yang saya ajak bicara itu hanya mengatakan
“oh” Entah karena tidak tidak percaya, atau memang dia begitu percaya. Akan
beda jadinya kalau cahaya benderang. Mungkin dia akan mengatakan “mahasiswa kok
wajahnya boros amat…” Lalu dia menjelaskan bahwa ini adalah tontonan teater
pertama yang dilihatnya. “kenapa kamu nonton?” tanyaku menyelidik. “Disuruh dosen. Pak Ahmad Supena. Kalau nggak diwajibkan sih, males,” ungkapnya.
Pementasanpun
dimulai. Saya mulai membidik beberapa adegan, berusaha menikmati teater resital
yang digarap oleh Syamsudin,mahasiswa PLS, berjudul “Sayang Ada Orang Lain”
karya Utuy Tatang Sontani. Garapan yang realis ini tak menantang untuk kamera
saya. Penata cahaya yang terlalu teknis, pemain-pemainnya yang masih kaku,
menjadi bagian yang harus saya nikmati kendati melelahkan. Lalu ketika alur
mulai masuk klimaks, penonton di sebelah kiri saya mengangkat HP-nya. “Iya,
mamah, sebentar,…iya…nggak kok..” Kemudian, ketika asyik memotret, bokong saya
tersepak oleh juluran kaki penonton di belakang. Maklum, penonton duduk
lesehan. Kadang, ada waktunya beberapa penonton menjulurkan kakinya yang pegal
itu. “Maaf, kak” katanya dari belakang.
Ketika
menonton pementasan itu, perasaan saya sebetulnya tertambat pada dua kawan saya
yang telah tiada; Wan Anwar dan Nandang Aradea. Mereka berdualah yang pertama
kali menggagas berdirinya UKM Teater Kafe Ide. Kegigihan mereka di dunia sastra
dan pertunjukkan menjadi magnet banyak orang untuk datang ke Untirta, termasuk
saya. Ketika para aktor berpentas, yang saya lihat adalah wajah dua orang itu
yang sedang berdialog.
“Rek,
sebaiknya kita ke salon. Sudah saatnya rambutmu yang gondrong itu dicukur.
Beberapa kali aku ditegur Sholeh Hidayat dan Dekan. Sebagai Kaprodi, kau harus
tahu posisiku,” kata Wan Anwar kepada Nandang Aradea. “Ya itu kan urusanmu,” ucap
Nandang sambil menyulut rokok A Mild. “Ya, ini memang tak penting, harusnya
kita tak membicarakan urusan rambut, kaos, jeans dan hal-hal yang aksesoris.
Eh, ada hal yang lebih menarik. Bagaimana kalau kita meneliti tentang ubrug.
Aku sudah membuat draft penelitiannya.” Wan Anwar mengajukan beberapa gagasan. “Nah,
aku juga sedang konsentrasi ke arah situ.” Kata Nandang dengan wajah yang
sangat antusias. Lalu mereka larut dalam pembicaraan mengenai teater
tradisional dengan berbagai referensi dari buku-buku babon.
Kemudian,
perempuan di sebelah kiriku menangis. “Ih, kok endingnya begitu sih. Sedih amat…
hu..hu…” Ia mengelap air matanya dengan tisu sambil tak henti mengarahkan
pandangannya pada panggung yang mulai meredup.